08 April 2012

Ulama Aceh dan Perjuangan Tanpa Akhir


(foto: Ulama aceh menimba ilmu di perantauan)
 
Dalam Islam, ulama adalah golongan terpelajar yang menguasai hukum-hukum dan pengetahuan tentang keislaman serta mengajarkannya kepada masyarakat. Mereka adalah golongan terpelajar yang telah menempuh jenjang pendidikan tertentu selama beberapa periode baik melalui lembaga pendidikan formal ataupun informal.

Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam, para ulama adalah pemimpin agama yang menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam. Mereka bertugas untuk menyebarkan Islam, membimbing dan mengayomi masyarakat Islam, serta menyelesaikan berbagai problema dan permasalahan yang menyangkut dengan umat Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda:

 إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ  ,

"Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi" (HR. Tirmidzi).

Hadis ini menunjukkan bahwa tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh para nabi, maka setelah nabi wafat tugas-tugas itu kemudian diwariskan kepada para ulama. Dengan demikian, tugas-tugas sebagai pemimpin masyarakat Islam, menyebarkan Islam, membimbing dan mengayomi masyarakat Islam, serta menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut umat Islam selanjutnya berada di pundak para ulama.

Dalam upaya menyebarkan Islam kepada banyak orang, para ulama berkelana mengunjungi berbagai negeri, bersentuhan langsung dengan beragam budaya dan berinteraksi dengan berbagai karakter manusia. Diantara negeri-negeri yang mendapat kunjungan dakwah para ulama itu adalah Aceh. Aceh pun tercatat dalam literatur sejarah sebagai negeri pertama tempat para ulama menyebarkan dan mengajarkan Islam di kawasan Asia Tenggara.

PERAN ULAMA DAN TERSEBARNYA ISLAM DI ACEH

Manuskrip sejarah mencatat, ulama-ulama yang datang ke Aceh adalah ulama-ulama yang mumpuni, baik dari sisi kemapanan ekonomi maupun dari sisi penguasaan keahlian dan kemampuan tertentu. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai saudagar dengan berdagang, ada yang berpengalaman mengolah lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan, dan ada pula yang menawarkan keahlian tertentu. Semua ini memberikan keberkahan tersendiri, dan bantuan yang tidak ternilai harganya bagi Aceh. Mereka semua adalah utusan unggul dari negeri-negeri Arab, Persia, dan India.

Yang lebih menakjubkan adalah, kemapanan dan kemampuan yang mereka miliki itu semuanya diperuntukkan untuk membantu dan berkhidmat kepada masyarakat Aceh, dan mendorong mereka untuk memiliki kemampuan dan keahlian yang sama seperti yang mereka miliki. Kehadiran para ulama yang begitu peduli dengan kondisi masyarakat inilah yang sangat berbekas di hati rakyat Aceh saat itu, sehingga ajaran Islam yang dibawa begitu mudah diterima, dan akhirnya menjadi agama resmi Kerajaan di wilayah ini.

Disamping kesibukan yang mereka tekuni sebagai saudagar, petani dan keahlian lainnya, dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin agama, para ulama membuka tempat-tempat pendidikan dan pengajian, serta mengajarkan Islam di tempat itu. Mereka mengajarkan hakikat ketauhidan dan prinsip-prinsip agama, membimbing mereka untuk mengetahui hakikat kehidupan dan keselamatan yang hakiki, serta tujuan yang paling agung menurut mereka, yaitu mencetak kader-kader ulama baru dari tanah Aceh.

Hal ini terus berlangsung selama beberapa abad lamanya, alumni-alumni yang telah menyelesaikan pendidikan mereka, dengan keahlian yang mereka miliki dan ditengah sela-sela kesibukan mereka untuk mencari penghidupan, mereka membuka tempat pengajian di tempat yang mereka kunjungi dan menetap disana, mereka juga kemudian memiliki banyak murid dan alumni, dan alumni itu juga melakukan hal yang sama di daerah lainnya yang mereka tempati, begitulah seterusnya sambung-menyambung dari generasi ke generasi, dari golongan masyarakat yang satu ke golongan masyarakat lainnya, sehingga pada abad XVI masehi, seluruh Aceh dan sebagian tanah melayu dan Jawa telah beragama Islam.

Di Aceh, peran mereka inilah yang membuat kedudukan mereka sangat dihargai dan disegani, tidak hanya oleh masyarakat Aceh yang langsung bersentuhan dengan mereka, tetapi juga oleh Kerajaan yang pada saat itu sedang berkuasa di Aceh. Peran yang dijalankan para ulama dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat, benar-benar memberikan makna yang sangat bernilai dalam perkembangan Islam selanjutnya di wilayah ini.

Melihat peranan ulama yang sedemikian penting ini, dengan sendirinya menempatkan posisi mereka pada daya jual yang istimewa di mata para pembesar kerajaan, hal ini karena posisinya yang sangat dipercaya oleh masyarakat, melebihi kepercayaan mereka kepada sultan.


(foto: Seorang ulama bersama Ulee Balang Aceh)
PERAN ULAMA PADA MASA KEEMASAN KERAJAAN ACEH

Abad XVI adalah abad dimana Aceh berada pada masa keemasannya. Sejarah membuktikan bahwa sederetan nama ulama telah berperan penting dalam menentukan masa keemasan ini, diantara nama-nama besar yang berhasil mengukir sejarah saat itu adalah seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrany, Nuruddin ar Raniry dan Syiah Kuala disamping ratusan tokoh lainnya yang tidak mungkin disebutkan disini.

Tokoh-tokoh ini adalah pemegang jabatan penting pemerintahan sebagai Qadhi Malikul Adil atau dewan pertimbangan kerajaan yang sangat berpengaruh terhadap maju mundurnya Kerajaan Aceh Darussalam.

Ulama-ulama di Aceh pada masa itu, sebagaimana para pendahulu mereka adalah orang-orang yang berada, dengan berbagai aktifitas dan keahlian, diantara mereka ada yang memiliki perkebunan yang luas, areal persawahan, menguasai jalur perdagangan, dan banyak masyarakat yang bekerja pada mereka sebagai pekerja sekaligus sebagai murid pada tempat pengajian yang mereka dirikan. Masa itu, para ulama adalah saingan para Ulee balang (Pemimpin Daerah dibawah Sultan Aceh) yang pada banyak hal tidak tersentuh oleh aturan-aturan kesultanan.

Dengan style yang mereka miliki, benar-benar menjadikan mereka sebagai pribadi mandiri dalam segala hal, independen, dan bebas dari tekanan siapapun, mereka memiliki pengaruh yang cukup luas, dengan jaringan yang telah dibangun beberapa abad sebelumnya, serta memiliki kekuatan untuk menekan pemerintah dan siapa saja yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, inilah ciri khas ulama pada masa keemasan Aceh yang kini tidak kita temui lagi pada masa kini.

Pantas saja seorang sekretaris Belanda, Dr. AJ. Piekaar, dalam bukunya "Atjeh en de oorlog met japan" pernah menulis, di Aceh ini ada tiga kekuatan besar, kekuatan Sultan, kekuatan Ulee Balang, dan kekuatan ulama, kekuatan sultan adalah yang paling lemah, sedangkan kekuatan ulama adalah yang paling kuat.

PERAN ULAMA DALAM PERJUANGAN MENGUSIR PENJAJAH

Pada saat pecah perang antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Belanda pada tahun 1873, alumni-alumni pendidikan ulama Aceh adalah tokoh utama dalam usaha membangkitkan semangat perlawanan rakyat dalam mengusir pelaku kezaliman dan kesewenang-wenangan Kerajaan Belanda.

Demikian gigihnya perlawanan itu, hingga melampaui beberapa dekade dan dari generasi ke generasi, tercatat perang skala besar dan kecil yang pernah berlaku antara Aceh dengan Kerajaan Belanda lebih kurang selama 70 tahun, terhitung sejak invasi pertama Belanda pada tahun 1873 sampai kedatangan Jepang pada tahun 1942. Untuk rentang waktu antara tahun 1873 hingga 1914 saja tercatat jumlah korban tewas kedua belah pihak kurang lebih 37.500 orang korban di pihak Belanda, dan sebanyak 70.000 syuhada di pihak Aceh (Tempo:1999).

Seorang penasehat Kerajaan Belanda terkenal, Snouck Hurgronje pernah berkata dalam salah satu nasehatnya kepada pimpinan perang Kerajaan Belanda di Aceh, "Sesungguhnya kekuatan sebenarnya yang paling besar di Aceh adalah ulama mereka, ulama merekalah sebagai penggerak perlawanan rakyat, karena itu, untuk menghancurkan Aceh, serang dan hancurkanlah ulamanya."

Ini menunjukkan betapa besarnya peranan ulama di Aceh dalam pembentukan masyarakat dan mengarahkan mereka untuk melakukan aksi-aksi perlawanan sepanjang sejarah Aceh. Tidak hanya itu, mereka juga turut serta dan terjun dalam kancah peperangan dengan mengorbankan segala apa yang dimilikinya, mereka itulah pribadi-pribadi yang mulia dan berakhlak luhur, pribadi yang cerdas dan berpengetahuan luas, serta tokoh teladan umat, mandiri dan sangat bersahaja dan berjasa.

HC. Zentgraaff dalam bukunya Atjeh menyebutkan, salah satu contoh ulama yang disebutkan diatas adalah Teungku Chik di Tiro, beliau adalah salah satu tokoh yang praktis telah mengorbankan seluruh anggota keluarganya untuk melawan penjajahan Belanda hingga ke anak cucunya, mereka semua berkorban demi kejayaan Islam dan harkat martabat kaum muslimin di Aceh. Sungguh pengorbanan yang luar biasa.

PERAN ULAMA PASCA PERANG BERSENJATA DI ACEH

Pada saat Kerajaan Belanda menganggap peperangan dengan Kerajaan Aceh Darussalam telah usai dengan jatuhnya ibukota pemerintahan di Banda Aceh, walaupun dibeberapa tempat masih terdapat perlawanan hebat seperti di Bakongan (1925-1927) dan di Lhong (1933), serta beberapa perlawanan sporadis lainnya dalam skala kecil di daerah Aceh Timur dan Meulaboh, akhirnya roda pemerintahan Aceh selanjutnya di ambil alih oleh Kerajaan Belanda.

Dalam menjalankan roda pemerintahan di Aceh, Kerajaan Belanda sangat hati-hati dalam bertindak, sedikit saja kesalahan dan kekeliruan dalam menangani roda pemerintahan di Aceh, bisa saja memantik kebencian rakyat di daerah yang telah dikuasai untuk kembali melakukan perlawanan.

Karena sebab ini, mereka tidak merombak seluruh sistem pemerintahan di Aceh kecuali kekuasaan Kesultanan Aceh. Ulee balang-ulee balang yang dulunya merupakan panglima perang dan pemimpin negeri di bawah kekuasaan sultan serta memiliki daerah pemerintahan sendiri dan wilayah masing-masing, dibiarkan tetap pada posisinya dengan syarat tunduk dan patuh kepada Kerajaan Belanda, mereka yang tidak tunduk di bantai pihak Kerajaan Belanda.

Kebijakan ini dianggap memberi keuntungan ganda kepada Belanda, dari satu pihak karena mereka memiliki kaki tangan pribumi yang setia, sedangkan di lain pihak kebijakan ini berhasil membuat perpecahan diantara kaum ulee balang dengan para ulama dengan cara memberi tugas dan tanggung jawab untuk mengawasi segala gerak gerik para ulama yang mencurigakan kepada mereka, politik devide et empera yang biasa Belanda jalankan untuk memecah konsentrasi massa.

Melihat posisi para ulama yang sangat independen, sangatlah sulit untuk mempengaruhi mereka, karena itu diantara para ulee balang ada yang tidak setuju dengan tugas-tugas yang diberikan Belanda ini, namun untuk melakukan perlawanan mereka juga tidak mampu, akhirnya mereka melepaskan jabatan itu dan bergabung dengan barisan ulama, walau ada diantara mereka yang cerdik dengan melakukan kompromi politik seperti yang diperankan oleh Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alam Syah selaku Ulee Balang Negeri Peusangan sekaligus sebagai pelindung gerakan bawah tanah para ulama.

Posisi istimewa inilah yang dimiliki ulama saat itu. Hal ini jelas menjadi kekhawatiran bagi Belanda mengingat pengaruh mereka yang sangat signifikan dalam memobilisasi rakyat Aceh untuk melakukan perlawanan, minimal membangkitkan sikap benci dan anti-Belanda.

Untuk menyaingi kegiatan ulama, Belanda mendirikan sekolah-sekolah negeri di beberapa kota di Aceh, dengan maksud supaya ramai masyarakat Aceh yang belajar disana dengan kurikulum yang disesuaikan dengan keinginan mereka, disamping usaha-usaha lainnya seperti pembangunan Masjid, pelebaran jalan, dan pembangunan irigasi untuk menarik simpati rakyat.

Walau strategi ini sedikit banyak membuahkan hasil, namun kebanyakan semua fasilitas ini dinikmati oleh para keluarga ulee balang yang setia kepada Belanda, hal ini lambat laun mengakibatkan meningkatnya kebencian pendukung para ulama terhadap Belanda, terlebih lagi kepada ulee balang yang bekerjasama dengan Belanda.

Hari demi hari, keadaan ulama dan pendukungnya semakin terpuruk karena berbagai hambatan dan tantangan baik dari sisi ekonomi maupun tekanan sosial dari Belanda dan para ulee balang yang setia kepada Belanda. Hal ini memaksa ulama kembali memikirkan jalan keluar permasalahan umat Islam Aceh setelah perlawanan bersenjata tidak lagi dimungkinkan.

Keterangan yang dapat diambil dari salah seorang sekretaris Belanda di Banda Aceh (saat itu nama Banda Aceh telah di robah menjadi Kutaraja) Dr. AJ. Piekaar, dalam salah satu bukunya yang berjudul Atjeh en de oorlog met japan menunjukkan, sebagian ulama Aceh telah menyadari perlunya perlawanan jenis baru untuk melawan Kerajaan Belanda yang semakin bertindak sewenang-wenang terhadap mereka.

Keterangan ini memberi gambaran kepada kita, bahwa para ulama Aceh saat itu, tidak ketinggalan zaman dan informasi, mereka selalu mengikuti perkembangan yang terjadi pada masanya, saat itulah organisasi ulama pertama didirikan dengan nama PUSA, singkatan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh.

Organisasi ini didirikan di Bireuen pada tahun 1939, oleh tokoh-tokoh ulama kharismatik terkenal, sebagian mereka juga merupakan keturunan ulee balang yang mendukung perjuangan para ulama. Diantara tokoh-tokoh pendirinya adalah Teuku Haji Chik Muhammad Johan Alam Syah (Kepala Negeri Peusangan) sebagai pelindung, Tengku Muhammad Daud Beureu'eh (Ulama kharismatik yang hanya bisa baca tulis Arab namun fasih berbahasa Indonesia, beliau berasal dari Negeri Keumangan, Pidie), Teuku Muhammad Amin (keturunan ulee balang negeri Meureudu, Pidie), Teungku Ismail Yacob (Ulama asal Lhoksukon), dan Teungku Muhammad Din (Ulama asal tanah Gayo-Alas) (Dr. AJ. Piekaar:1977).

Setelah organisasi terbentuk, mereka mendirikan sekolah-sekolah modern untuk menyaingi sekolah yang didirikan Belanda, seperti perguruan normal Islam di Bireuen, sekolah Jami'atuddiniyah yang terletak di Blang Pasee dan sekolah agama lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Aceh, mereka juga menerbitkan majalah bulanan sebagai kontrol informasi organisasi, seperti majalah agama "Penyedar" yang terkenal saat itu.

Untuk meningkatkan peranan golongan pemuda Aceh dalam bidang keagamaan, mereka juga mendirikan organisasi PEMUDA PUSA, dan organisasi kepanduan Kasyafatul Islam yang berpusat di Idi Rayeuk, dengan Husein al Mujahid dan Teungku Abdul Wahab sebagai tokohnya.

Dalam waktu yang singkat, berdirilah cabang-cabang PUSA di seluruh Aceh dengan alumni pendidikan ulama sebagai pengurusnya, anggotanya terus bertambah dalam hitungan detik bak cendawan di musim hujan (meminjam istilah Dr. AJ. Piekaar), perkembangan ini terus menjadi kekhawatiran Kerajaan Belanda, namun sebelum Belanda sempat menghancurkan organisasi ulama ini, Kerajaan Belanda harus menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tahun 1942.

Inilah sekilas peranan ulama sebagai pemimpin agama di Aceh mulai dari kedatangan dengan menyebarkan Islam, masa keemasan dengan membimbing dan mengayomi masyarakat Islam Aceh, hingga menyelesaikan berbagai problema dan permasalahan yang menyangkut dengan umat Islam Aceh pada masa penjajahan Kerajaan Belanda di Aceh, semoga dapat dijadikan ibrah dan pelajaran oleh generasi sekarang dengan mewarisi semangat perjuangannya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih