PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya keinginan untuk memperoleh pengetahuan, kasih sayang, harta kekayaan, pangkat, kedudukan mulia dlsb. Rasa keinginan memperoleh lingkungan yang aman, damai, tentram, jauh dari kejahatan dan kekacauan adalah salah satu sifat khusus yang terdapat pada manusia sejak awal penciptaannya.
Sifat khusus ini atau dalam bahasa agama disebut dengan istilah fitrah, adalah sifat yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat dirubah. Allah swt berfirman dalam Al-Qur'an:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لا تَبْديلَ لِخَلْقِ اللهِ
"…itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah" (QS. Rum [30]: 30)
Berdasarkan ayat ini, kita dapat memahami bahwa dimanapun manusia itu berada, dan apapun latar belakang bangsa dan kepercayaannya, ia pasti akan selalu mencari kedamaian, ketentraman, ketenangan dan keamanan dalam kehidupannya.
Disinilah agama berfungsi sebagai pengatur fitrah-fitrah yang melekat pada manusia itu supaya tetap berada pada jalan yang benar dan diredhaiNya. Agama memberikan rambu-rambu dan pedoman bagaimana mengatur sifat-sifat khusus itu supaya tetap berada pada kebaikan yang dikehendaki oleh Allah swt demi kebaikan manusia itu sendiri.
Pada ayat lain Allah swt berfirman:
تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ
"…bekerjasamalah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu bekerjasama dalam berbuat dosa dan pelanggaran" (QS. Al Maidah [5]:2).
Tiada yang menafikan, bahwa bekerjasama untuk mewujudkan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat adalah salah satu cerminan dari ayat di atas.
Namun jika kita meneliti lebih jauh ayat di atas, ternyata upaya kerjasama dalam kebaikan dan taqwa tidak otomatis menafikan bahwa manusia juga berpotensi untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran baik secara individu maupun berjamaah. Firman Allah swt "Dan janganlah kamu bekerjasama dalam berbuat dosa dan pelanggaran" dalam ayat di atas jelas menunjukkan hal ini.
Karena itu, mengorganisir masyarakat supaya saling bekerjasama dalam kebaikan untuk mencegah potensi manusia lain berbuat kejahatan dan pelanggaran, menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.
Hal itu pula pesan yang terkandung dalam Al-Qur'an ketika Allah swt memerintahkan kaum muslimin supaya melakukan persiapan untuk menghadapi manusia-manusia yang berpotensi berbuat kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:
وَ أَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَ مِنْ رِباطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَ عَدُوَّكُمْ وَ آخَرينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَما تُنْفِقُوا مِنْ شَيْ ءٍ في سَبيلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَ أَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahui mereka; sedang Allah mengetahui mereka. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah (dan untuk memperkuat sistem pertahanan Islam), niscaya akan dibalas dengan sempurna kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)" (QS. Al Anfal [8]: 60).
Pada masa dahulu, kuda perang adalah cermin formasi yang terorganisir sebagai tanda persiapan yang bertujuan untuk mencegah sekaligus menciutkan nyali manusia-manusia yang memiliki potensi untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum Allah swt. Dan kini, formasi yang terorganisir itu dapat berubah pola menurut kebutuhan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman modern.
SISKAMSWAKARSA DALAM TIMBANGAN
Siskamswakarsa adalah salah satu bentuk program yang diciptakan untuk mengupayakan pengorganisasian masyarakat dalam sebuah sistem yang tertata rapi untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam lingkungan.
Melalui program ini, masyarakat diharapkan dapat ikut ambil bagian bersama pemerintah dalam mengupayakan lingkungan yang damai, aman dan tentram, bebas dari kejahatan dan kekacauan.
Masyarakat diharapkan turut andil dalam memecahkan persoalan krusial negara yang menyangkut dengan persoalan lingkungan, seperti narkoba, perjudian, kerusakan moral dan akhlak, Sara, pencurian, bahkan hingga yang menyangkut persoalan negara seperti korupsi, terorisme, trafficking (perdagangan manusia) dll.
Bentuk kerjasama seperti ini adalah harapan agama kepada manusia sebagaimana yang telah kita bahas dalam ayat yang telah disebutkan di atas.
Namun, bukan tidak mungkin dalam mewujudkan usaha itu, kerjasama bukan lagi berada pada jalan kebaikan dan ketaqwaan, kerjasama malah dilakukan pada hal-hal yang merongrong kebaikan dan mematikan akarnya. Kerjasama seperti ini bisa terjadi bila sikap anarkis dan arogansi aparatur negara yang seharusnya menjadi pengayom dan pembina masyarakat, malah menjadi penguasa yang menekan masyarakat dan nilai-nilai kebaikan yang mereka miliki.
Akibatnya, Siskamswakarsa yang pada awalnya diciptakan untuk membendung potensi kejahatan pada masyarakat dan pemerintah, malah berubah sebaliknya menjadikan kejahatan semakin meluas karena telah melibatkan oknum pemerintah sekaligus masyarakat di dalamnya.
Lihat saja misalnya dalam peristiwa reformasi Mei 1998, pemerintah membentuk pasukan pengamanan sipil yang dikenal dengan istilah Pam Swakarsa, pasukan ini pada awalnya dibentuk untuk meredam aksi-aksi mahasiswa yang dianggap brutal, mereka diberikan fasilitas militer dan beberapa jenis senjata, terakhir diketahui mereka menjadi tameng yang dipergunakan untuk menopang pemerintahan korup melawan rakyat dan mahasiswa yang menginginkan keadilan.
Disinilah sangat dibutuhkan sistem nilai yang bersumber dari ajaran-ajaran Agama dan prinsip-prinsip kejujuran yang mengontrol pribadi aparatur negara dan masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya. Jika tidak, sebaik apapun program dan sistem yang dibentuk, tidak akan dapat merubah lingkungan menjadi baik.
SUMBER KETIMPANGAN SEGALA KERJASAMA KEBAIKAN
Perlu dilakukan sebuah penelitian mengenai apa sebenarnya yang menyebabkan seorang apatur negara atau masyarakat tidak memiliki sistem nilai yang bersumber dari fitrah kemanusiaan, atau ajaran-ajaran luhur yang terdapat dalam agama.
Menurut hemat penulis, minimal terdapat 4 (empat) hal yang menyebabkan seseorang menyeleweng dari fitrah kemanusiaan dan tuntunan keagamaan. Hal ini berawal dari ideologi pemikiran/pemahaman yang salah terhadap kehidupan, sehingga kemampuan membedakan antara kebaikan dan kesalahan yang tidak kuat (tidak mumayyiz) walaupun usia telah jauh dari batas itu, hingga akhirnya lahirlah tindakan-tindakan yang berasal dari ideologi/pemahaman yang salah itu.
1. Ideologi pemikiran/pemahaman yang keliru terhadap kehidupan
Banyak yang memahami kehidupan dunia bersifat abadi, usia yang bertambah setiap detik menuju kematian tidak menjadi cambukan untuk melakukan kebaikan, penyakit yang diderita, musibah yang menimpa, semua ini adalah salah satu alamat dunia itu bersifat sementara.
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuktikan, bahwa pada akhirnya bumi akan menjadi sangat tua, dan tidak akan mampu lagi membendung dan menahan desakan magma dan larva yang terkandung di dasar bumi, sehingga akhirnya akan pecah dan mengguncang seluruh penduduk dunia.
Dunia adalah salah satu tahapan menuju tahapan lainnya dalam rentetan kehidupan. Kita telah melalui alam ruh, alam rahim, dan kini berada di alam dunia, ada alam akhirat yang akan kita temui setelah kematian atau kehancuran dunia.
Alam akhirat inilah yang telah dilupakan orang dalam pemahaman dan tindakan. Mereka mengira apa saja yang dilakukan manusia hanya akan berakhir di dunia saja, sehingga saat ada kesempatan, segala tindakan yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan dan agama pun dilanggar.
Orang boleh bebas dari pengadilan dunia, tapi siapa yang dapat lari dari pengadilan akhirat?. Singkatnya, ajaran agama secara tegas menyatakan terdapat jurang pemisah yang dalam antara kesalahan dan kebaikan, kebaikan dan kebatilan tidak akan pernah bercampur bagaikan minyak dan air. Allah swt menegaskan:
وَ قُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَ مَنْ شاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنا لِلظَّالِمينَ ناراً أَحاطَ بِهِمْ سُرادِقُها
"Dan katakanlah, "Kebenaran itu telah jelas dari Tuhanmu; maka barang siapa yang menginginkannya, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (ingkar), maka biarlah ia ingkar. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka" (QS. Al Kahfi [18]:29).
Penyalahgunaan kerjasama selamanya adalah kesalahan, tidak akan pernah menjadi kebenaran.
Pemahaman awal inilah yang selalu menjadi landasan perilaku aparatur negara dan masyarakat dalam kehidupannya, jika pemahaman ideologi pemikiran ini tidak tepat, maka tindakan yang dilahirkan pun akan melenceng dari fitrah kemanusiaan dan tuntunan keagamaan.
2. Pembinaan moral yang tidak dimulai dari lingkungan keluarga
Keluarga adalah pemerintahan terkecil penentu haluan negara yang besar, jika rusak pendidikan dalam keluarga, maka rusaklah haluan negara, jika baik pendidikan dan moral dalam keluarga, maka baik pulalah haluan negara. Karena itu, diperlukan sistematisasi pendidikan moral dalam keluarga melalui pendidikan agama tambahan selain yang mereka peroleh dari pendidikan/sekolah formal. Allah swt mengingatkan kita dalam firmanNya:
وَ لْيَخْشَ الَّذينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً
"Dan hendaklah mereka takut jika meninggalkan anak-anak yang lemah dibelakang mereka" (QS. An Nisa [4]: 9)
Lemah dapat tercakup beberapa hal, termasuk moralitas dan akhlak yang baik. Pada ayat lain Allah swt juga berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْليكُمْ ناراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَ الْحِجارَةُ...
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu" (QS. At Tahrim [66]: 6).
Tentunya anak-anak yang baik akan lahir dari keluarga yang baik, sumber pendapatan keluarga yang baik, dan sumber penghidupan berupa makanan dan minuman yang baik pula.
Jika sumber-sumber itu berasal dari pelanggaran fitrah kemanusiaan dan ajaran agama, maka hal ini akan merubah keluarga menjadi neraka sebelum neraka. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Ka'ab bin Hujrah:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
"Wahai Ka'ab, sungguh tidak ada daging yang tumbuh dari harta yang haram melainkan neraka lebih utama baginya" (HR. Tirmidzi, bab Ma zakara fi fadhlis shalati)
3. Aparatur negara kurang melakukan pembinaan moralitas dan etika
Kita seringkali dihadapkan pada kebijakan sebagian aparatur negara yang hanya membangun sarana bagi masyarakat, namun mengabaikan pembinaan moralitas bangsa yang sebenarnya merupakan inti pembangunan sebuah negara.
Akibatnya, pembangunan sarana terus mengalami peningkatan ditengah-tengah rusaknya moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga tidak heran dalam setiap pembangunan itu terjadi berbagai ketimpangan/manipulasi, tindak pidana korupsi dan berbagai kecurangan lainnya yang tidak akan habis-habisnya.
4. Pengaruh lingkungan dan gaya hidup yang mematikan fitrah kemanusiaan
Fitrah manusia atau sifat-sifat asli kemanusiaan seperti kejujuran, keadilan, keramah-tamahan, saling menghargai, saling menghormati dll. dapat terkikis bahkan hilang jika terus menerus ditawarkan pengaruh lingkungan yang tidak sehat dan tidak menghiraukan ajaran-ajaran agama.
Pemerintah yang baik tentu akan menawarkan lingkungan yang baik pula bagi masyarakatnya dengan mengontrol gaya hidup masyarakat seperti menjauhi gaya hidup hedonisme yang bermewah-mewahan, menghiasi masyarakat dengan nilai-nilai keagamaan dan moralitas kemanusiaan, serta memperbaiki citra pemerintah dan masyarakat dengan sikap kenegarawan yang jujur.
PENUTUP
Dengan demikian, agama memandang Siskamswakarsa sebagai langkah yang baik dalam kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, dengan syarat sesuai dengan nilai-nilai moralitas kemanusiaan dan tuntunan agama yang suci.
Jika kedua hal ini belum tercapai, diperlukan perbaikan dua arah dalam menjalankan program ini, yaitu baik pihak aparatur negara dan perangkat daerahnya, maupun masyarakatnya yang dimulai dari lingkungan keluarga yang agamis. Sehingga, Siskamswakarsa yang dijalankan akan benar-benar sejalan dengan bentuk kerjasama yang disyari'atkan Islam.
* Disampaikan dalam acara "Kegiatan Peningkatan Kapasitas Aparat Dalam Rangka Pelaksanaan Siskamswakarsa di Kabupaten Aceh Tenggara, Rabu, 27 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih