aidil adha |
وَ أَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجالاً وَ عَلى كُلِّ ضامِرٍ يَأْتينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَميقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنافِعَ لَهُمْ وَ يَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ في أَيَّامٍ مَعْلُوماتٍ عَلى ما رَزَقَهُمْ مِنْ بَهيمَةِ الْأَنْعامِ فَكُلُوا مِنْها وَ أَطْعِمُوا الْبائِسَ الْفَقيرَ
“Dan serulah manusia untuk berhajji niscaya mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki dan mengedarai kendaraan dari tempat yang jauh agar mereka dapat menyaksikan banyak hal yang bermanfaat bagi mereka atas apa yang Allah berikan kepada mereka…”. (Qs. al-hajj: 28)
Inilah seruan agung yang diserukan khalilullah Nabi Ibrahim as. setelah selesai menyelesaikan pembangunan kembali Ka’bah bersama putranya Ismail as. Dia serukan hal itu dengan naik ke atas sebuah tempat yang disebut Jabal Qubais dengan menyeru:
“Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah kalian dan ziarahilah Baitullah! Lalu kemudian seruan itu Allah perdengarkan kepada manusia yang masih berupa nutfah, atau kepada mereka yang akan hidup beribu-ribu tahun yang akan datang, dan mereka bersama-sama mengucapkan lafaz talbiyyah:
لبیک اللهم لبک، لبیک لا شریک لبیک، ان الحمد و النعمة لک و الملک لا شریک لبیک
“Wahai Tuhanku aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi pangilan-Mu, sungguh segala puji, nikmat, dan seluruh alam hanya milik-Mu, tidak ada sekutu bagimu”.
Idul adha atau aidil qurban adalah hari raya penghambaan. Aidil Qurban adalah hari raya bagi siapa saja yang menganggap dirinya hanyalah seorang hamba yang harus mengorbankan hal yang paling dicintainya kepada Allah. Marilah kita sekarang melakukan perjalanan ruhani ke Mina. Di tempat itu, pada hari Raya Idul Adha, jutaan jamaah haji melakukan penyembelihan atas hewan kurban. Dimana sebelumnya, mereka melakukan lempar jumrah. Mereka melempari tugu-tugu yang menjadi simbol hawa nafsu syaitaniah.
Apa yang dilakukan jamaah haji itu merupakan pengulangan atas sebuah peristiwa sangat penting dan agung yang pernah terjadi kepada Nabi Ibrahim dan putranya Ismail as. Peristiwa yang agung itu tercantum dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat ayat 102. Dalam surat itu, Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ماذا تَرى قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إِنْ شاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرينَ
“Telah Kami kabarkan berita gembira kepada Ibrahim tentang anaknya yang sangat sabar. Ketika anaknya (Ismail) itu telah sampai pada usia yang cukup baginya untuk melakukan usaha, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi. Dalam mimpiku itu, aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?’ Ismail lalu menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apapun yang telah diperintahkan. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar” (Qs. Ash-Shaffat: 102)
Percakapan yang singkat ini telah menorehkan sebuah gambaran dunia yang bersih serta penuh dengan kerelaan, keikhlasan dan cinta serta penghambaan yang luar biasa. Dua manusia mulia ini, yaitu nabi Ibrahim dan Ismail as, telah menunjukkan sebuah konsep penghambaan yang paling agung yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Bagi siapapun juga, hal yang paling berharga yang dimiliki oleh manusia adalah nyawanya. Bagi seorang ayah siapa pun juga, nyawa seorang anak kandung adalah jiwa yang paling bernilai yang dimilikinya.
Karena itu, kepatuhan Nabi Ibrahim as untuk mengorbankan nyawa anaknya, dan kepatuhan Ismail untuk mengorbankan nyawanya sendiri, demi mena’ati perintah Allah, jelas hanya bisa terjadi karena keduanya sudah sampai kepada tingkat penghambaan tertinggi yang dimiliki manusia, dan kita diminta untuk meneladaninya dengan memperingati Aidil Adha pada setiap tahunnya.
Keduanya, Nabi Ibrahim dan Ismail as. telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan kosong yang hanya sebagai pemanis bibir. Mereka telah benar-benar memurnikan kepasrahan dan keikhlasan hanya kepada Allah. Mengakui dan menyadari bahwa pemilik hakiki kehidupan hanyalah Allah swt. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah milik Allah, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri mereka sendiri. Allah swt berfirman yang selalu kita ikrarkan setiap waktu dalam shalat kita:
ان صلاتی و نسکی و محیای و مماتی لله رب العالمین. لا شریک له و بذالک امرت و انا اول المسلمین
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semata-mata milik Allah Tuhan seluruh alam; tidak ada seorang sekutu pun selainNya. Dan Untuk itulah aku diperintahkan, dan saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang menerima dan yang pasrah menjadi seorang Muslim”
Maka, sudah sepatutnyalah kedua nabi agung itu mendapatkan tempat terdekat di sisi-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya.
Sekarang kita, yang setiap saat juga berikrar seperti Nabi Ibrahim AS, Inna shalaati wanusuki… dan seterusnya. Jangan tanya tentang apakah kita sudah mampu melepas "kepemilikan" dari diri kita sendiri dan menisbatkannya hanya kepada Allah? Bertanyalah dalam diri kita, apakah kita sudah dapat menghilangkan rasa sayang melepas sebagian "milik" kita demi Allah?
Pengorbanan tiada tara yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. itu menyebabkan turunnya rahmat dan keridhoan dari Allah yang Maha Pengasih. Allah kemudian mengganti Ismail dengan seekor domba. Ismail sendiri selamat karena yang kemudian disembelih adalah domba yang diturunkan Allah itu. Firman Allah dalam surah Ash-Shaffat ayat 105 hingga ayat 110 berikut ini.
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنينَ. إِنَّ هذا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبينُ. وَ فَدَيْناهُ بِذِبْحٍ عَظيمٍ. وَ تَرَكْنا عَلَيْهِ فِي الْآخِرينَ. سَلامٌ عَلى إِبْراهيمَ. كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبادِنَا الْمُؤْمِنينَ
“Wahai Ibrahim, perintah yang engkau dapati dalam mimpi itu telah engkau kerjakan. Kami tentu memberikan balasan kepada orang-orang yang baik seperti itu. Sesungguhnya, ini adalah ujian yang sangat besar. Untuk itu, kami ganti pengorbanan itu dengan sembelihan yang agung. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Salam bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Ia termasuk di antara hamba-hamba-Ku yang beriman”.
Idul Qurban adalah puncak dari pelaksanaan manasik haji. Di Mina, pada hari itu, kita akan melihat jutaan hamba Allah mengerjakan perintah Allah SWT. Mereka berkurban sebagaimana yang dulu Nabi Ibrahim as telah berqurban. Dengan penuh cinta dan keikhlasan, mereka membeli hewan yang paling baik dan tidak memiliki cacat sedikitpun. Setelah itu, hewan pilihan itu mereka kurbankan dan mereka persembahkan kepada Allah sebagai bentuk pengorbanan dan penghambaan.
Di seluruh dunia, kaum muslimin juga merayakan hari pengorbanan dan penghambaan ini. Hari sebagai momentum melepaskan rasa egoisme kemanusiaan menuju keikhlasan abadi dan penghambaan kepada Allah swt dengan sebenar-benar penghambaan, Bersama-sama dengan saudara-saudara mereka yang berada di Mina, mereka juga merayakan keberhasilan mereka dalam mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan selama mengerjakan ibadah haji.
Mereka bergembira karena mampu meneladani perilaku keluarga Nabi Ibrahim, yang dengan tangguhnya mampu menghadapi godaan-godaan setan dan hawa nafsu, sehingga berbagai manuver tipu daya dan pengelabuan setan yang menyesatkan berhasil mereka kenali dan menghalaunya dengan penuh keimanan. Sikap teguh menghadapi tipu daya setan inilah yang dalam ibadah haji dilambangkan dengan melontar jumrah.
Bersama para jamaah haji lainnya, mereka berharap sepenuh hati dan keikhlasan agar dengan ibadah haji dan kurban itu, kecintaan pada dunia, kecintaan kepada diri, anak, isteri, suami, dan harta jangan sampai melebihi dengan kecintaannya kepada Allah. Allah berfirman:
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَاداً يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا ِللهِ
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang yang beriman, mereka sangat mecintai Allah” (QS. Al-Baqarah : 165).
Haji adalah lambang persatuan dan kesatuan umat. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep "keakuan" yang egois, bukan "kami atau kita", sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Padahal penonjolan sikap egois "keakuan" adalah perilaku orang-orang musyrik yang dilarang oleh Allah swt.
Haji juga melambangkan egalitarianisme. Mulai dari miqat mereka mengenakan pakaian yang sama yaitu kain kafan pembungkus mayat, yang terdiri dari dua helai kain putih yang sederhana. Semua memakai pakaian seperti ini. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan yang miskin, yang cukup makan dan yang kurang makan, yang dimuliakan dan yang dihinakan, yang bahagia dan yang sengsara, yang terhormat dan orang miskin awam, yang berasal dari Barat atau yang berasal dari Timur. Mereka memakai pakaian yang sama berwarna putih, berangkat pada waktu sama dan menuju tempat yang sama, serta akan bertemu pada waktu dan tempat yang sama pula. Mereka beraktifitas dengan aktivitas yang sama bahkan menggunakan kalimat yang sama.
Ibadah haji dan kurban juga menunjukkan semangat kepatuhan secara mutlak terhadap segala yang diperintahkan oleh Allah swt. Allah berfirman:
لَنْ يَنالَ اللهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَ لكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ كَذلِكَ سَخَّرَها لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلى ما هَداكُمْ وَ بَشِّرِ الْمُحْسِنينَ
“Sembelihan itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untukmu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (Al Hajj 37)
Ayat ini tidak lain adalah menjelaskan inti aidil Qurban yang sebenarnya Disebutkan dalam surat itu bahwa sembelihan tidak akan sampai kepada Allah, karena memang Allah tidak memerlukan semua itu, yang dinilai oleh Allah adalah ketakwaan dan keikhlasan serta penghambaan kita kepada Allah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya as. dalam catatan emas sejarah.
Karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh manusia dengan ibadah haji adalah pencapaian tahap demi tahap nilai ketakwaan, hingga mencapai derajat manusia sempurna. Keterpisahan dan hal-hal duniawi yang mengikat dan dari berbagai bentuk hawa nafsu adalah pelajaran terpenting yang harus diserap oleh siapa saja yang menjalankan ibadah haji ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih