MUKADDIMAH
Pada tahun 1980 terselenggara sebuah seminar sejarah di Rantau Kuala Simpang Aceh Timur. Seminar itu selain mengangkat tema "Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara", juga membahas tentang kerajaan manakah dari dua kerajaan yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara (Asia Tenggara) pada umumnya, dan khususnya di Indonesia yang menganut sistem Islam sebagai ideologi resmi yang diakui di wilayah kerajaannya.
Dua kandidat kerajaaan yang diklaim sebagai pintu masuknya Islam ke Nusantara itu adalah Kerajaan Perlak yang berada di Peureulak (kini Aceh Timur), dan Kerajaan Barus yang terletak di Barus (kini Sumatera Utara), kedua-dua kerajaan ini terletak di pulau Sumatera, pulau pertama yang menghubungkan Cina dengan dunia Arab dan Persia sebagai lintas perdagangan laut sebelum jalur darat dibuka saat itu. Bedanya, jika Kerajaan Perlak terletak di pantai timur pulau sumatera, Kerajaan Barus justru terletak di wilayah pantai barat pulau sumatera.
Para pakar dan ahli sejarah, didukung bukti-bukti peninggalan sejarah dan tulisan naskah tua yang berada ditangan mereka pada akhirnya mengambil kesimpulan dan menetapkan bahwa Kerajaan Perlak yang terletak di Aceh saat itu adalah kerajaan pertama sebagai pintu masuk Islam ke seluruh Nusantara.
Mengingat masa berdirinya kerajaan ini bersamaan dengan semakin tingginya pergolakan antara Sunni-Syiah diwilayah kekuasaan Islam saat itu di Timur Tengah, maka patut menjadi pertanyaan, jika Islam masuk ke Nusantara berasal dari Timur Tengah, sementara Timur Tengah saat itu penuh dengan pergolakan dua mazhab besar ini, maka mazhab manakah yang sampai dan dianut Kerajaan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara pada saat pembentukannya?.
KERAJAAN ISLAM PERLAK
Berdasarkan hasil penelusuran catatan sejarah, ditemukan bahwa Kerajaan Islam Perlak pada awalnya adalah bermazhab Syiah, alm. Prof. Ali Hasymi pakar sejarah yang juga merupakan salah satu peserta dalam seminar pada tahun 1980 itu dalam bukunya "Syiah dan Ahlussunnah, saling rebut pengaruh dan kekuasaan di Nusantara" menegaskan bahwa Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak adalah seorang Syiah.
Prof. Ali mengatakan, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak bernama Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Gelar "Sayyid" pada nama sultan pertama ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang keturunan Nabi SAAW, sementara gelar "Syah" pada akhir nama beliau menunjukkan ada pengaruh Persia pada diri atau kerajaan itu, karena gelar "Syah" adalah gelar yang biasa digunakan oleh raja-raja Persia yang berarti raja atau pemimpin.
Melihat silsilah keturunan sultan, ternyata Sultan Perlak adalah keturunan Imam Muhammad Ja'far as Shodiq melalui Sayid Ali al Muktabar bin Sayid Muhammad ad Dibai bin Muhammad Ja'far as Shodiq, silsilah ini selanjutnya terus bersambung hingga ke Ali bin Abi Tholib ra melalui Imam Muhammad Ja'far as Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein asy Syahid bin Ali bin Abi Tholib ra. Sebuah silsilah emas yang menunjukkan keterikatan yang kuat antara pribadi sultan dengan pendiri Mazhab Jakfari atau yang dikenal dengan Syiah.
Bagi sebagian kalangan mungkin ini sebuah kejutan, betapa tidak, mazhab yang selama ini dianggap sebagai bahan 'angker' untuk dipelajari dikalangan Sunni tradisional, jika dirujuk pada catatan sejarah ternyata merupakan mazhab pertama yang mempelopori penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, tidak hanya itu, jika kita mengambil kaidah 'Dini millah 'ala dini mulkihi' maka kerajaan Islam pertama di wilayah ini adalah kerajaan yang bermazhab Syiah.
Ini memberi gambaran kepada kita, bahwa para pedagang Arab dan Persia yang bermazhab Syiah saat melakukan perdagangan ke Cina saat itu, tidak hanya melakukan perdagangan semata-mata untuk menarik keuntungan dari hasil perdagangan, tetapi juga menaruh perhatian besar pada penyebaran Mazhab Ja'fari ini di Nusantara, disamping memang merupakan efek dari rasa keprihatinan yang tinggi terhadap kekacauan yang terjadi di wilayah kekuasaan Islam di Timur Tengah saat itu.
Perhatian yang besar ini bukanlah isapan jempol belaka, Prof. Ali menerangkan, beberapa tahun sebelum pembentukan Kerajaan Islam Perlak diasaskan, tepatnya pada tahun 173 H, sebanyak 100 orang rombongan dari Timur tengah sengaja datang ke Perlak untuk melakukan perdagangan dengan misi penyebaran Islam, mereka terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan India, dan yang paling penting untuk menjadi catatan kita adalah mereka semua adalah bermazhab Syi'ah!.
Prof. Ali menambahkan, mereka yang membawa misi Islam ke Perlak ini merupakan golongan yang tertindas dan dikejar-kejar menjadi buron sejak masa Dinasti Bani Umayyah berkuasa hingga masa Dinasti Bani Abbasyiah. Saat itu, Syiah adalah mazhab yang bersebrangan dengan pandangan politik dinasti yang sedang berkuasa di Timur Tengah. Dimana Mazhab Syiah berpandangan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasululllah SAAW adalah Keturunan-keturunan beliau dari nasab Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan Dinasti yang berkuasa saat itu tidak menghendaki jabatan ke-Khalifahan dipegang oleh mereka, dan penindasan pun berlaku.
Rombongan yang dikenal dengan sebutan 'Nakhoda Khalifah' itu kemudian mencari dan menemukan basis baru sebagai tempat perlindungan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam di Perlak. Kerajaan Perlak saat itu dipegang oleh raja-raja keturunan Persia yang berasal dari sebuah daerah yang bernama Syahr Nuvi di wilayah Kerajaan Siam (kini Thailand). Syahr Nuvi sendiri dalam bahasa Persia berarti Kota Baru.
Basis baru inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan Islam pertama di Nusantara bernama Kerajaan Islam Perlak, terbukti setelah dakwah intensif yang dilakukan selama lebih kurang 52 tahun setelah kedatangan mereka, tepat pada tanggal 1 Muharram hari selasa tahun 225 H, diproklamasikanlah Kerajaan Islam Perlak dengan Sayyid Abdul Aziz (salah satu keturunan Rasulullah SAAW yang ikut dalam rombongan Nakhoda Khalifah) dengan gelar Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah sebagai sultan pertamanya.
Tampaknya, usaha 52 tahun menjadikan Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam ini dikehendaki sejak awal sebagai tandingan buat Dinasti Abbasyiah yang sedang berkuasa di Timur Tengah saat itu, jika tidak, mengapa mereka sampai rela menempuh usaha dakwah hingga melewati kurun waktu selama 52 tahun dengan hanya untuk menyebarkan Islam di Kerajaan Perlak, padahal Kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan di wilayah ini, dan 52 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah misi kecuali memiliki tujuan yang pasti, yaitu menjadikan Kerajaan Perlak menjadi Kerajaan Islam.
Ini memang cukup beralasan, mengingat Kerajaan Perlak merupakan Kerajaan keturunan Persia yang telah lama berdiri sebelum kedatangan Islam, disamping itu merupakan kerajaan yang terkenal mapan dan menguasai jalur perdagangan sejak berabad-abad sebelum Islam, posisi ini diperkuat dengan letak strategis kerajaan ini yang berada tepat di pintu masuk jalur perdagangan menuju Cina sebagai tempat peristirahatan setelah menempuh perjalanan jauh dari India, dimana semua pedagang yang berasal dari Arab dan Persia mau tidak mau akan melewati wilayah Kerajaan ini untuk beristirahat dan menunggu angin yang tepat untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju Cina, kecuali jika mereka mengambil jalur pantai barat Pulau Sumatera.
Jelas saja Kerajaan Perlak memiliki nilai jual tinggi bagi terciptanya sebuah peradaban baru Islam di tanah melayu yang menurut data sejarah merupakan wilayah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, dengan pertimbangan, jika kerajaan Perlak telah Islam, otomatis tanah melayu akan mudah mendapatkan pencerahan Islam, terbukti hingga kini masyarakat melayu sangat identik dengan keislaman dan pengaruh budaya Persia.
Melihat kemajuan ini, tentu saja membuat kekhawatiran bagi Dinasti Abbasyiah dan juga Kerajaan Sriwijaya waktu itu, walau kekhawatiran mereka berbeda, dimana Dinasti Abbasyiah khawatir karena mazhab (pandangan) politik yang dianut Kerajaan ini mengganggu kepentingan dagangnya serta menjadi ancaman serius bagi dinastinya, sementara Kerajaan Sriwijaya khawatir akan adanya pesaing baru di wilayah ini, namun satu hal yang pasti, kedua kerajaan ini tetap menjadi ancaman bagi Kerajaan Islam Perlak.
Dalam perjalanannya ternyata ancaman itu benar-benar terjadi, hal ini tercatat dalam sejarah dimana Dinasti Bani Abbasyiah berhasil melumpuhkan kerajaan ini dari dalam melalui pertikaian Sunni-Syi'ah, dan setelah melihat perpecahan yang terjadi di Kerajaan Islam Perlak yang membagi Perlak menjadi 2 bagian, Kerajaan Sriwijaya pun menyerang Kerajaan ini hingga pemerintahan para Sayyid yang dikenal dengan sebutan Dinasti Aziziyah ini pun runtuh sebelum akhirnya bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai yang saat itu baru berdiri.
ANCAMAN DINASTI ABBASYIAH
Prof Ali mengatakan, setelah beberapa tahun Kerajaan Islam Perlak diproklamasikan, utusan rahasia dikirim ke Kerajaan Islam Perlak dengan maksud untuk menggeser dan mencegah keturunan Nabi SAWW memperoleh kekuasaan dan menjadi sultan di wilayah ini. Sebagaimana misi Islam sebelumnya yang dilakukan Sayyid Abdul Aziz beserta rombongan melalui perdagangan, utusan rahasia ini pun bergerak ke Perlak melalui perdagangan, mereka bergerak secara rahasia untuk mempengaruhi penduduk setempat, termasuk memprovokasi keluarga kerajaan terdahulu yang kedudukannya tergeser dengan keberadaan Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Usaha mereka ternyata tidak sia-sia, setelah bekerja kurang lebih selama 40 tahun, waktu yang juga tidak singkat, mereka akhirnya memperoleh banyak pendukung dan pengikut, serta berhasil membuat satu pemberontakan besar terhadap pemerintah Kerajaan Islam di Perlak, saat itu Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh keturunan ke III Sayid Abdul Aziz yang bernama Sultan Alaidin Sayid Maulana Abbas Syah (285 -300 H), walaupun pemberontakan ini tidak berhasil menumbangkan pemerintahan beliau, namun 2 tahun masa pemberontakan ini cukup melemahkan kekuatan Kerajaan Islam Perlak ini.
Sehingga pada saat terjadi pemberontakan kedua (kurang lebih 4 tahun setelah pemberontakan pertama) pada masa akhir pemerintahan Sultan ke IV yaitu Sultan Alaidin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (302-305 H), pemerintahan keturunan Nabi SAWW di wilayah ini tidak mampu lagi bertahan, dan akhirnya kalah dengan kemenangan dipihak pemberontak yang kemudian mengangkat kembali bangsawan keturunan Persia bernama Meurah Abdul Qodir sebagai Sultan dengan gelar Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Qodir Syah Johan Berdaulat, pemerintahan ini selanjutnya disebut Dinasti Makhdum Johan, dalam bahasa Persia berarti "Yang Dilayani Dunia".
Setelah kekalahan itu, golongan pendukung ahlul bait baru dapat memiliki kekuatan kembali setelah hampir 30 tahun mengumpulkan kekuatan dan dukungan, mereka akhirnya pada masa keturunan ke III Meurah Abdul Qodir yang bernama Sultan Makhdum Alaidin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat berhasil melakukan pembalasan pada masa kekuasaannya (334-361 H).
Demikian dahsyatnya peperangan ini hingga berlangsung selama 4 tahun lamanya. Peperangan ini kemudian diakhiri dengan perdamaian yang terkenal dengan nama 'Perdamaian Alue Meuh' yang kemudian membelah Kerajaan Perlak menjadi dua bagian, Perlak Tunong (Utara) yang terletak di pesisir laut untuk golongan ahlul bait dengan Sultan Alaidin Sayid Maulana Mahmud Syah sebagai sultannya, dan Perlak Baroh (barat) yang terletak di pedalaman dengan Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Syah sebagai Sultannya.
ANCAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Melihat perpecahan yang terjadi dalam Kerajaan Islam Perlak ini, Kerajaan Sriwijaya melihat peluang untuk menghancurkan kerajaan ini yang dianggap telah mengganggu penghasilan Kerajaannya selama puluhan tahun. Sehingga tepat pada tahun 375 H/986 M Kerajaan Sriwijaya menyerang Kerajaan Islam Perlak dengan kekuatan penuh.
Kerajaan Islam Perlak Tunong yang terletak di pesisir laut adalah sasaran pertama serangan Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu. Melihat serangan ini juga menjadi ancaman terhadap Kerajaan Islam Perlak Baroh, dua kerajaan ini kemudian bersatu kembali merapatkan barisan sehingga pasukan Sriwijaya dapat diusir dari wilayah itu, namun Sultan Alaidin Sayyid Maulana Mahmud Syah syahid dalam peristiwa ini, dan tidak ada pengganti yang menggantikan kedudukan beliau setelahnya, karena keluarga Sultan Sayyid Mahmud memutuskan untuk hijrah dan membuat kerajaan baru di wilayah yang diberi nama Pasi (dalam bahasa penduduk setempat Pase atau Pasai) setelah peperangan usai. Kelak kerajaan Pasi menjadi kerajaan besar yang ternama bernama Kerajaan Samudera Pasai pada abad XIV.
Akibatnya Kerajaan Islam Perlak selanjutnya terus dipimpin oleh Dinasti Makhdum Johan dari mazhab Sunni selama beberapa tahun dengan tetap memberikan hak kepada mazhab Syi'ah sebelum akhirnya meleburkan diri dibawah Kerajaan Islam Samudera Pasai bentukan keluarga keturunan Sultan Sayyid Mahmud Syah pada tahun 433 H/1042 M.
Sumber: Hasymi, Prof. Ali, Syiah dan Ahlussunnah; saling rebut pengaruh dan kekuasaan sejak awal sejarah Islam di kepulauan Nusantara, 1983, PT. Bina Ilmu, Surabaya, dan sumber bacaan lainnya.
Prof. Ali mengatakan, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak bernama Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Gelar "Sayyid" pada nama sultan pertama ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang keturunan Nabi SAAW, sementara gelar "Syah" pada akhir nama beliau menunjukkan ada pengaruh Persia pada diri atau kerajaan itu, karena gelar "Syah" adalah gelar yang biasa digunakan oleh raja-raja Persia yang berarti raja atau pemimpin.
Melihat silsilah keturunan sultan, ternyata Sultan Perlak adalah keturunan Imam Muhammad Ja'far as Shodiq melalui Sayid Ali al Muktabar bin Sayid Muhammad ad Dibai bin Muhammad Ja'far as Shodiq, silsilah ini selanjutnya terus bersambung hingga ke Ali bin Abi Tholib ra melalui Imam Muhammad Ja'far as Shodiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein asy Syahid bin Ali bin Abi Tholib ra. Sebuah silsilah emas yang menunjukkan keterikatan yang kuat antara pribadi sultan dengan pendiri Mazhab Jakfari atau yang dikenal dengan Syiah.
Bagi sebagian kalangan mungkin ini sebuah kejutan, betapa tidak, mazhab yang selama ini dianggap sebagai bahan 'angker' untuk dipelajari dikalangan Sunni tradisional, jika dirujuk pada catatan sejarah ternyata merupakan mazhab pertama yang mempelopori penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, tidak hanya itu, jika kita mengambil kaidah 'Dini millah 'ala dini mulkihi' maka kerajaan Islam pertama di wilayah ini adalah kerajaan yang bermazhab Syiah.
Ini memberi gambaran kepada kita, bahwa para pedagang Arab dan Persia yang bermazhab Syiah saat melakukan perdagangan ke Cina saat itu, tidak hanya melakukan perdagangan semata-mata untuk menarik keuntungan dari hasil perdagangan, tetapi juga menaruh perhatian besar pada penyebaran Mazhab Ja'fari ini di Nusantara, disamping memang merupakan efek dari rasa keprihatinan yang tinggi terhadap kekacauan yang terjadi di wilayah kekuasaan Islam di Timur Tengah saat itu.
Perhatian yang besar ini bukanlah isapan jempol belaka, Prof. Ali menerangkan, beberapa tahun sebelum pembentukan Kerajaan Islam Perlak diasaskan, tepatnya pada tahun 173 H, sebanyak 100 orang rombongan dari Timur tengah sengaja datang ke Perlak untuk melakukan perdagangan dengan misi penyebaran Islam, mereka terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan India, dan yang paling penting untuk menjadi catatan kita adalah mereka semua adalah bermazhab Syi'ah!.
Prof. Ali menambahkan, mereka yang membawa misi Islam ke Perlak ini merupakan golongan yang tertindas dan dikejar-kejar menjadi buron sejak masa Dinasti Bani Umayyah berkuasa hingga masa Dinasti Bani Abbasyiah. Saat itu, Syiah adalah mazhab yang bersebrangan dengan pandangan politik dinasti yang sedang berkuasa di Timur Tengah. Dimana Mazhab Syiah berpandangan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasululllah SAAW adalah Keturunan-keturunan beliau dari nasab Ali bin Abi Thalib ra, sedangkan Dinasti yang berkuasa saat itu tidak menghendaki jabatan ke-Khalifahan dipegang oleh mereka, dan penindasan pun berlaku.
Rombongan yang dikenal dengan sebutan 'Nakhoda Khalifah' itu kemudian mencari dan menemukan basis baru sebagai tempat perlindungan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam di Perlak. Kerajaan Perlak saat itu dipegang oleh raja-raja keturunan Persia yang berasal dari sebuah daerah yang bernama Syahr Nuvi di wilayah Kerajaan Siam (kini Thailand). Syahr Nuvi sendiri dalam bahasa Persia berarti Kota Baru.
Basis baru inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan Islam pertama di Nusantara bernama Kerajaan Islam Perlak, terbukti setelah dakwah intensif yang dilakukan selama lebih kurang 52 tahun setelah kedatangan mereka, tepat pada tanggal 1 Muharram hari selasa tahun 225 H, diproklamasikanlah Kerajaan Islam Perlak dengan Sayyid Abdul Aziz (salah satu keturunan Rasulullah SAAW yang ikut dalam rombongan Nakhoda Khalifah) dengan gelar Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah sebagai sultan pertamanya.
Tampaknya, usaha 52 tahun menjadikan Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam ini dikehendaki sejak awal sebagai tandingan buat Dinasti Abbasyiah yang sedang berkuasa di Timur Tengah saat itu, jika tidak, mengapa mereka sampai rela menempuh usaha dakwah hingga melewati kurun waktu selama 52 tahun dengan hanya untuk menyebarkan Islam di Kerajaan Perlak, padahal Kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan di wilayah ini, dan 52 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah misi kecuali memiliki tujuan yang pasti, yaitu menjadikan Kerajaan Perlak menjadi Kerajaan Islam.
Ini memang cukup beralasan, mengingat Kerajaan Perlak merupakan Kerajaan keturunan Persia yang telah lama berdiri sebelum kedatangan Islam, disamping itu merupakan kerajaan yang terkenal mapan dan menguasai jalur perdagangan sejak berabad-abad sebelum Islam, posisi ini diperkuat dengan letak strategis kerajaan ini yang berada tepat di pintu masuk jalur perdagangan menuju Cina sebagai tempat peristirahatan setelah menempuh perjalanan jauh dari India, dimana semua pedagang yang berasal dari Arab dan Persia mau tidak mau akan melewati wilayah Kerajaan ini untuk beristirahat dan menunggu angin yang tepat untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju Cina, kecuali jika mereka mengambil jalur pantai barat Pulau Sumatera.
Jelas saja Kerajaan Perlak memiliki nilai jual tinggi bagi terciptanya sebuah peradaban baru Islam di tanah melayu yang menurut data sejarah merupakan wilayah yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, dengan pertimbangan, jika kerajaan Perlak telah Islam, otomatis tanah melayu akan mudah mendapatkan pencerahan Islam, terbukti hingga kini masyarakat melayu sangat identik dengan keislaman dan pengaruh budaya Persia.
Melihat kemajuan ini, tentu saja membuat kekhawatiran bagi Dinasti Abbasyiah dan juga Kerajaan Sriwijaya waktu itu, walau kekhawatiran mereka berbeda, dimana Dinasti Abbasyiah khawatir karena mazhab (pandangan) politik yang dianut Kerajaan ini mengganggu kepentingan dagangnya serta menjadi ancaman serius bagi dinastinya, sementara Kerajaan Sriwijaya khawatir akan adanya pesaing baru di wilayah ini, namun satu hal yang pasti, kedua kerajaan ini tetap menjadi ancaman bagi Kerajaan Islam Perlak.
Dalam perjalanannya ternyata ancaman itu benar-benar terjadi, hal ini tercatat dalam sejarah dimana Dinasti Bani Abbasyiah berhasil melumpuhkan kerajaan ini dari dalam melalui pertikaian Sunni-Syi'ah, dan setelah melihat perpecahan yang terjadi di Kerajaan Islam Perlak yang membagi Perlak menjadi 2 bagian, Kerajaan Sriwijaya pun menyerang Kerajaan ini hingga pemerintahan para Sayyid yang dikenal dengan sebutan Dinasti Aziziyah ini pun runtuh sebelum akhirnya bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai yang saat itu baru berdiri.
Prof Ali mengatakan, setelah beberapa tahun Kerajaan Islam Perlak diproklamasikan, utusan rahasia dikirim ke Kerajaan Islam Perlak dengan maksud untuk menggeser dan mencegah keturunan Nabi SAWW memperoleh kekuasaan dan menjadi sultan di wilayah ini. Sebagaimana misi Islam sebelumnya yang dilakukan Sayyid Abdul Aziz beserta rombongan melalui perdagangan, utusan rahasia ini pun bergerak ke Perlak melalui perdagangan, mereka bergerak secara rahasia untuk mempengaruhi penduduk setempat, termasuk memprovokasi keluarga kerajaan terdahulu yang kedudukannya tergeser dengan keberadaan Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Usaha mereka ternyata tidak sia-sia, setelah bekerja kurang lebih selama 40 tahun, waktu yang juga tidak singkat, mereka akhirnya memperoleh banyak pendukung dan pengikut, serta berhasil membuat satu pemberontakan besar terhadap pemerintah Kerajaan Islam di Perlak, saat itu Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh keturunan ke III Sayid Abdul Aziz yang bernama Sultan Alaidin Sayid Maulana Abbas Syah (285 -300 H), walaupun pemberontakan ini tidak berhasil menumbangkan pemerintahan beliau, namun 2 tahun masa pemberontakan ini cukup melemahkan kekuatan Kerajaan Islam Perlak ini.
Sehingga pada saat terjadi pemberontakan kedua (kurang lebih 4 tahun setelah pemberontakan pertama) pada masa akhir pemerintahan Sultan ke IV yaitu Sultan Alaidin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (302-305 H), pemerintahan keturunan Nabi SAWW di wilayah ini tidak mampu lagi bertahan, dan akhirnya kalah dengan kemenangan dipihak pemberontak yang kemudian mengangkat kembali bangsawan keturunan Persia bernama Meurah Abdul Qodir sebagai Sultan dengan gelar Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Qodir Syah Johan Berdaulat, pemerintahan ini selanjutnya disebut Dinasti Makhdum Johan, dalam bahasa Persia berarti "Yang Dilayani Dunia".
Setelah kekalahan itu, golongan pendukung ahlul bait baru dapat memiliki kekuatan kembali setelah hampir 30 tahun mengumpulkan kekuatan dan dukungan, mereka akhirnya pada masa keturunan ke III Meurah Abdul Qodir yang bernama Sultan Makhdum Alaidin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat berhasil melakukan pembalasan pada masa kekuasaannya (334-361 H).
Demikian dahsyatnya peperangan ini hingga berlangsung selama 4 tahun lamanya. Peperangan ini kemudian diakhiri dengan perdamaian yang terkenal dengan nama 'Perdamaian Alue Meuh' yang kemudian membelah Kerajaan Perlak menjadi dua bagian, Perlak Tunong (Utara) yang terletak di pesisir laut untuk golongan ahlul bait dengan Sultan Alaidin Sayid Maulana Mahmud Syah sebagai sultannya, dan Perlak Baroh (barat) yang terletak di pedalaman dengan Sultan Makhdum Alaidin Malik Ibrahim Syah sebagai Sultannya.
ANCAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Melihat perpecahan yang terjadi dalam Kerajaan Islam Perlak ini, Kerajaan Sriwijaya melihat peluang untuk menghancurkan kerajaan ini yang dianggap telah mengganggu penghasilan Kerajaannya selama puluhan tahun. Sehingga tepat pada tahun 375 H/986 M Kerajaan Sriwijaya menyerang Kerajaan Islam Perlak dengan kekuatan penuh.
Kerajaan Islam Perlak Tunong yang terletak di pesisir laut adalah sasaran pertama serangan Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu. Melihat serangan ini juga menjadi ancaman terhadap Kerajaan Islam Perlak Baroh, dua kerajaan ini kemudian bersatu kembali merapatkan barisan sehingga pasukan Sriwijaya dapat diusir dari wilayah itu, namun Sultan Alaidin Sayyid Maulana Mahmud Syah syahid dalam peristiwa ini, dan tidak ada pengganti yang menggantikan kedudukan beliau setelahnya, karena keluarga Sultan Sayyid Mahmud memutuskan untuk hijrah dan membuat kerajaan baru di wilayah yang diberi nama Pasi (dalam bahasa penduduk setempat Pase atau Pasai) setelah peperangan usai. Kelak kerajaan Pasi menjadi kerajaan besar yang ternama bernama Kerajaan Samudera Pasai pada abad XIV.
Akibatnya Kerajaan Islam Perlak selanjutnya terus dipimpin oleh Dinasti Makhdum Johan dari mazhab Sunni selama beberapa tahun dengan tetap memberikan hak kepada mazhab Syi'ah sebelum akhirnya meleburkan diri dibawah Kerajaan Islam Samudera Pasai bentukan keluarga keturunan Sultan Sayyid Mahmud Syah pada tahun 433 H/1042 M.
Sumber: Hasymi, Prof. Ali, Syiah dan Ahlussunnah; saling rebut pengaruh dan kekuasaan sejak awal sejarah Islam di kepulauan Nusantara, 1983, PT. Bina Ilmu, Surabaya, dan sumber bacaan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih