26 April 2009

Ada hubungan apa Masyarakat Alas dengan Orang-orang Persia??



Sekilas memang tampak seperti foto kuno tak berguna, dibiarkan berserakan memenuhi laci-laci lemari tua, atau terselip diruangan sempit antara cermin yang berdebu tebal dan triplek pelindungnya yang telah dimakan rayap, kalau foto-foto itu jatuh tentu akan dibiarkan saja oleh pemiliknya berterbangan dengan angin kering dan berdebu yang datang bersama awal musim panas di salah satu rumah tua di Iran. saat foto itu aku minta, "ambil saja" katanya singkat sambil sedikit tersenyum seolah-olah mengejekku.

Dari tadi sebenarnya mataku hanya tertuju pada satu foto yang berbeda dengan yang lain, foto pernikahan..saat coba kutanyakan, "itu foto orang nikah jaman dulu, sekarang sudah pakai mobil hias, jalan juga sudah beraspal, mana ada lagi yang mau jalan aspal diberaki kuda ha ha ha" katanya sambil berkelakar melanjutkan pekerjaannya. saat memperhatikan foto itu, aku seperti kembali kemasa kecilku, saat dimana bersama teman-teman bergembira dan bersorak-sorai tanpa sendal mengejar dan mengiringi rombongan pengantar pengantin dengan musik2 unik dan menarik perhatian setiap orang dibelakangnya ke suatu rumah yang tidak jauh dari tempatku tinggal, desa Perapat Hulu yang penuh kenangan.

Setahun sudah foto itu hilang, karena kupikir aku tidak sempat menulis lagi dengan banyaknya kesibukan, tapi secara tak sengaja aku menonton sebuah Film klasik Iran yang didalamnya ada acara pernikahan jaman doeloe, judulnya "KHOK VA KHON" artinya tanah dan darah, lebih dari bahasa verbal yang ada dalam foto yang hilang itu, film itu memberi gambaran sedikit bagaimana acara pernikahan jaman dulu orang-orang Iran secara visual, dan terlebih penting menggali pula ingatanku tentang rencana penulisan sebuah artikel sederhana tentang ini.

Yap.. perkawinan ala orang-orang persia kuno yang sekarang di Iran sendiri malah sudah hampir punah karena dianggap memang sudah kuno, tetapi beberapa tahun lalu aku masih sempat melihatnya di sebuah wilayah berjarak ribuan mil dari tanah persia Iran, di Aceh.. tempatku pernah menetap dan tinggal disana, wilayah sejuk dengan penduduk yang sangat ramah dan rasa kesetiakawanan yang tinggi serta makanan alami yang belum terkontaminasi, dan yang pasti ikan mass terbaik yang pernah ada di dunia berada di daerah ini, aku bahkan dulu sempat fasih berbahasanya, bahasa alas yang merupakan salah satu bahasa etnik di Aceh yang mirip dengan bahasa gayo, karo dan batak.

Pertanyaan besar adalah... mengapa pesta perkawinan mereka sama?, ada hubungan apa masyarakat alas dengan orang-orang persia kuno? ini bukan hanya sekedar asumsi, saya lihat banyak fakta yang mendukungnya, baik sisi budaya, sejarah, dan bahasa.
 
Dari sisi budaya, saya melihat banyak persamaan dalam acara pengantaran pengantin ini dengan pelaksanaan upacara pengantaran pengantin yang ada di Aceh dan beberapa daerah sekitarnya, bukan hanya itu, dalam beberapa tradisi lain seperti tangis jile (tangisan kedukaan kewafatan), irama seruling yang mendayu-dayu melambangkan kesedihan yang mendalam, dan mungkin masih banyak lagi yang belum kita ketahui.

Khusus dalam hal pengantaran pengantin, persamaan-persamaan itu dapat kita saksikan seperti: pengantin diarak keliling kampung tempat kedua mempelai tinggal, para pengantin dinaikkan diatas kuda yang dipandu oleh kaum kerabat, pengantin wanita ditutup wajahnya, deretan tabuhan-tabuhan gendang dengan berbagai irama dari alat musik yang baik dipukul atau di tiup yang mengiringi pengantin, penaburan wewangian, pelemparan beras dan bunga, hingga teriakan khusus seperti teriakan tarzan (sekedar untuk mendekatkan pemahaman), mewarnai upacara pengantaran pengantin ini. 
Walau memiliki sedikit perbedaan, menurut saya ini adalah reaksi wajar dari interaksi dan inovasi budaya serta tradisi yang berasal dari kreasi masyarakat setempat terhadap tradisi yang datang ke tempat itu, perbedaan-perbedaan itu dapat kita temukan seperti penutup kepala wanita bukan lagi dari kain biasa, tetapi sejenis hiasan dari benang-benang bersimpul dengan warna-warni yang lebih tampak indah, kuda yang dihias dengan berbagai hiasan yang menarik, alat-alat musik yang lebih beragam yang menggemakan komposisi suara lebih komplek dan unik serta menarik, serta pakaian pengantin yang lebih bercorak walau masih berwarna dasar hitam, ini semua menunjukkan inovasi yang dilakukan masyarakat Alas lebih maju dan bahkan jika dibandingkan dengan orang-orang persia sekarang.

Saya belum tahu persis apakah tradisi ini juga berkembang di masyarakat Gayo, Karo dan Batak, tetapi yang saya tahu, bahwa warna dasar semua pakaian daerah di Aceh adalah hitam, sebuah warna yang melambangkan simbol adat istiadat yang kuat, ini sama dengan warna kesukaan orang-orang persia zaman dahulu dan sekarang pun masih tampak terlihat jelas pada masyarakatnya.

Khusus mengenai warna hitam terdapat filosofi tersendiri sebagaimana yang pernah dijelaskan salah seorang pakar tasawuf dan Irfan di Iran, warna hitam adalah warna kedukaan yang mendalam, kepiluan dan perlawanan kepada kezaliman dan ketidakadilan (kita bisa lihat rata-rata pakaian pejuang di Aceh adalah hitam), juga menandakan batasan yang jelas pada orang lain yang bukan mahram, memiliki simbol "kullu yaumin 'Asyura, Kullu yaumin karbala" artinya setiap hari adalah 'Asyura dan setiap hari adalah Karbala (sejenis yel historis pembangkit semangat melawan kezaliman di Iran), dan pemberi peringatan kepada mereka yang terlalu bergembira untuk tidak terlalu bergembira karena peristiwa pembantaian cucu Nabi, agaknya filosofis ini juga yang menjadi latar belakang warna hitam yang menjadi dasar warna semua pakaian adat di Acheh, karena seperti yang dikatakan alm. Prof. A. Hasyimi dalam bukunya "Syiah dan Ahlussunnah" Islam pertama sekali yang datang ke Aceh adalah bermazhab Syiah, dan karakterisktik Asyura dan Husein, adalah karakteristik dalam mazhab Syiah.

Hubungan ini menjadi lebih jelas saat memahami bahwa mayoritas orang-orang persia adalah bermazhab syiah, dimana jika kita melihat dari sisi sejarah, tercatat 2 kekuatan besar Kerajaan Syiah di Acheh saat itu yang mengalami pengaruh Orang-orang persia dan Para Sayyid keturunan Nabi SAW yang lari dari kejaran Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasyiah di Timur Tengah saat itu, 2 kerajaan itu adalah Kerajaan Peureulak di Aceh Timur (abad ke 2 Hijriah) dan Kerajaan Barus/Fansur yang dipimpin Sultan Ibrahim Pasaribu (abad ke 8 Hijriah) di Barus (sekarang masuk wilayah Sumatera Utara), 2 kerajaan ini bersama beberapa kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang tersebar di wilayah ini hingga minang kabau, berubah menjadi sebuah kerajaan besar, bersatu dan kuat serta disegani pada masa Kerajaan Acheh Darussalam dibawah amanah pimpinan Sultan Iskandar Muda (abad ke 10 Hijriah). 
Berangkat dari sisi bahasa, disamping 350 kalimat yang sama dengan bahasa Melayu (menurut tesis seorang Mahasiswa Indonesia di Universitas Tehran), terdapat beberapa kesamaan lainnya yang sampai saat ini masih dapat ditemukan di wilayah ini, seperti kata-kata: Piyoh (bahasa Aceh) sama dengan bahasa persia biyoh yang berarti 'kemari', Kucak (bahasa Gayo) sama dengan bahasa Persia Kucak yang berarti 'kecil', Kuja (bahasa karo) sama dengan bahasa persia kujo yang berarti kemana, be (bahasa alas) sama persis dengan bahasa persia be yang berarti ke, dan saya kira jika dilakukan penelitian khusus tentang ini, akan banyak ditemukan kesamaan bahasa lainnya yang lebih banyak.

Berdasarkan fakta-fakta ini, dapat dipastikan pengaruh budaya dan tradisi Orang-orang Persia dan Arab keturunan Nabi bermazhab Syiah juga sampai ke Kota Cane, tempat dimana masyarakat Alas sekarang menetap, karena disamping melihat posisinya yang berbatasan langsung dengan daerah-daerah wilayah pemerintahan Barus waktu itu (wilayah tanah Karo, Batak dan Singkel), berbagai tradisi orang-orang Persia juga masih tersisa sampai sekarang di Kota Cane.

Barus atau Fansur adalah tempat kelahiran ulama Syiah Aceh yang terkenal Hamzah Fansuri, dan tempat belajar muridnya-muridnya seperti Syamsuddin as-Sumatrany dll, tetapi karena beratnya penjajahan Belanda yang dimulai sejak tahun 1873, blokade Inggris dan Amerika serta lemahnya Kerajaan Turki Usmani, aksi anarkis pasukan paderi pimpinan Imam Bonjol (menurut catatan Tauanku Rao) hingga berbagai agresi militer sekutu setelah Jepang angkat kaki, ditambah lagi misi kristenisasi yang dibawa pendeta-pendeta mereka waktu itu, wilayah-wilayah Kerajaan Aceh Darussalam yang letaknya berjauhan dari pusat pemerintahan di Bandar Aceh, satu-persatu lepas termasuk Barus, dan kini jejak-jejak Islam benar-benar telah terhapus dan lenyap hatta satu pohon untuk pembuatan kapur barus pun tidak dapat lagi ditemukan di Barus, sebuah tujuan kejam penghilangan identitas.


sayang kita ga punya gambar dari acara pernikahan di Kota Cane, rekan di Kota Cane ada yang punya ga??

1 komentar:

  1. saya juga berpikiran sama, hanya saja saya tidak punya bukti untuk itu, terimakasih infonya

    BalasHapus

silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih