29 April 2009

Konfrontasi dengan Iran minimal akan berakhir sama seperti Sejarah Aceh??

Pejuang Kerajaan Aceh Darussalam di Aceh Tengah, tampak masyarakat Alas dan Gayo bersama-sama menyambut seruan jihad fi sabilillah melawan Belanda.

Judul ini adalah sebuah petikan komentar seorang teman dalam sebuah diskusi rutin malam Jum'at di salah satu sudut madrasah di Iran beberapa waktu lalu, dia bukan orang Aceh, juga bukan termasuk orang yang tinggal di Aceh, bahkan dia tinggal dilingkungan orang-orang yang menghujat rakyat Aceh sebagai orang-orang bandel, tidak tahu diuntung, tidak tahu terimakasih, keras kepala dan lain-lain (padahal untuk siapa seharusnya kalimat ini ya??).

Berangkat dari wataknya yang memang tidak menerima apa saja yang orang katakan, dan rasa ingin tahu yang besar serta prihatin kenapa Aceh seperti ini, dari tahun ke tahun tidak pernah aman bahkan sejak perang dengan Belanda tahun 1873, dia pun mempelajari sedikit kutipan-kutipan sejarah Aceh, dan dari bacaannya dia benar-benar menjadi pembela Aceh, saya pikir melebihi orang Aceh sendiri, sampai-sampai orang di lingkungannya merasa heran kenapa dia seperti ini? tidak membela orang sendiri... sedikit mengenal latar belakangnya, berasal dari salah satu universitas terkenal di pulau Jawa, tinggal di lingkungan para raden kraton Jogja, dan paham betul pantangan-pantangan sikap dan prilaku mereka, dan banyak lagi.. insyaallah kita akan coba tuliskan pada kesempatan lain. Diluar itu, ada beberapa poin penting dalam komentarnya yang perlu kita diskusikan terkait masalah konfrontasi atau perang, apa sebenarnya penyebab daya tahan orang-orang di Aceh dalam konfrontasi begitu kuat, tahan lama, dan terus menerus, jika pun padam laksana api dalam sekam yang tidak akan padam hingga cuaca mendung dan benar-benar mengeluarkan hujan lebat yang membawa rahmat bagi semua.


Satu persatu wilayah pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam lepas karena serangan Kerajaan Belanda, tampak foto yang diduga pesantren di wilayah Barus yang dihuni masyarakat Karo dan Batak (atas), kelompok masyarakat minang saat wilayah ini berhasil dikuasai Belanda (bawah).

Memikirkan ini, berarti kita juga mengulang kembali sejarah bagaimana susah payahnya seorang sarjana Belanda harus mempelajari dan meneliti semua bahasa-bahasa yang ada di Kerajaan Aceh (seperti bahasa Aceh sendiri, Gayo, Alas, Jame, aneuk jame, Kluet, Singkel, juga Karo dan Batak untuk masa waktu itu), dia juga harus meneliti dan mempelajari bahasa-bahasa yang dikuasai para pembesar Kerajaan Aceh Darussalam beserta para penopangnya (seperti bahasa Melayu, Arab, Persia, Urdu, Inggris dan Perancis), dia mempelajari Islam bertahun-tahun dan pemerintah Belanda membiayai kegiatannya dengan sangat mahal, mengunjungi daerah-daerah pusat studi Islam dunia di Arab dan Persia, menetap disana bertahun-tahun hingga fasih berbahasa Arab dan Persia, kemudian kembali ke tengah-tengah perkampungan orang-orang Acheh di pedalaman Acheh, Gayo, Karo dan Batak untuk mempelajari struktur masyarakat dalam pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. 

Dia pun kemudian digelar masyarakat sebagai 'Arab puteh' (jika tdk salah-pen) karena penguasaannya terhadap bahasa Arab padahal dia orang eropa, masyarakat menilainya sangat menguasai Islam, bahkan dia mengajar Islam kepada masyarakat, hal ini membuat masyarakat semakin terbuka kepadanya, barulah setelah data-data yang dikumpulkannya dirasa cukup, dia pun merasa penyamarannya sudah cukup..., dia akan menjadi kaya raya setelah ini.. sang Snouck yang malang.. Dia pun akhirnya mengeluarkan resolusi mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah zalim Belanda untuk menghancurkan Aceh, saya kira bukan hanya untuk Belanda, siapapun yang ingin menghancurkan Aceh, maka obat mujarab inilah satu-satunya solusi, tindakan itu adalah sebagai berikut:

1. Mengesampingkan dahulu golongan Sultan beserta pengikutnya.

2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Banda Aceh.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar/meunasah, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Perlu diketahui resolusi ini keluar setelah perang selama kurang lebih 27 tahun, yaitu sejak 1873 sampai awal 1900an yang tidak berakhir hingga kedatangan Jepang 1942, dan setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II, perang kembali berkobar berhadapan dengan tentara sekutu yang diboncengi NICA Belanda. Sebenarnya sangat banyak sekali yang dapat dikaji dan dianalisa dari rekomendasi ini, namun poin penting yang akan kita bahas dalam tulisan ini adalah (poin 2)"Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama".
 
Sejak saat kerajaan Peureulak mendeklarasikan Islam sebagai agama resmi Kerajaan (abad 2 Hijriyah) tepatnya kurang lebih tahun 220 Hijriyah (masa dimana Imam Bukhari masih sedang mengumpulkan hadis-hadis), terdapat 2 kekuatan yang sengaja disusun demikian rupa oleh para penyebar pertama Islam di Aceh, desain 2 kekuatan ini yaitu kekuatan Pemerintahan politik dan kekuatan Rohaniawan, secara terus menerus berusaha dipertahankan untuk kelangsungan Islam di Aceh dari abad ke abad, walau seiring berlalunya waktu dan berbagai kejadian yang terjadi di Aceh, 2 kekuatan ini mengalami pergeseran makna, baik dari segi isinya maupun berbagai kepentingannya. Kekuatan pemerintahan politik didesain sedemikian rupa supaya tetap berada dibawah kendali kekuatan rohaniawan yaitu para ulama, sehingga seorang dari kalangan Pemerintahan politik di Aceh yaitu warga Kerajaan, akan dijauhi dan dicibir masyarakat/rakyat Aceh jika tidak pernah mengecap pendidikan agama, dan akan dijauhi pula oleh masyarakat jika berseberangan dengan para Ulama. Bukti sejarah yang dapat kita baca adalah ketika pada masa pemerintahan Sultanah Ratu Safiatuddin (1641-1675 Masehi), anak Sultan Iskandar Muda yang memerintah setelah suaminya Sultan Iskandar Sani, serta 3 orang sultanah setelahnya, terdapat pembunuhan besar-besar tokoh-tokoh ulama oleh pemerintah Kerajaan karena berbagai fitnah yang terjadi waktu itu (seperti fitnah antara tokoh ulama sunni dan tokoh ulama Syiah, fitnah antara paham filsafat kalam wahdatusy syuhud dan wahdatul wujud, pembakaran buku-buku karangan para ulama yang dituduh sesat seperti buku-buku Hamzah Fansuri dan para muridnya, pro-kontra pemimpin perempuan menjadi raja, dll) yang menyebabkan banyak para ulama khususnya ulama Syiah di Aceh terpaksa melarikan diri baik ke daerah lain yang dianggap aman seperti Barus, maupun ke Pulau-pulau lain di Nusantara seperti Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, peristiwa ini dikenal dalam sejarah Aceh sebagai masa kemunduran ilmu pengetahuan di Aceh (baca: Prof. A. Hasyimi "Sunnah-Syiah saling rebut pengaruh di Nusantara).


Salah satu puing Kerajaan Siam yang masih dapat ditemukan di Thailand, perhatikan pengaruh Persia pada relief lantai dan desain jendela dan pintunya. (sumber: blognaimfirdausi)

Keadaan ini menjadi semakin diperparah setelah pusat kader Ulama Aceh yang saat itu berada di Syahr Nuvi (sekarang Thai-land) telah dikuasai Inggris setelah kekalahan kerajaan Siam dalam peperangan sengit antara suku bangsa Thai (Sochothai) dari Yunan Selatan China yang didukung berat oleh Inggris untuk memporakporandakan Syahr Nuvi yang merupakan kunci terakhir untuk menyerang Islam di Aceh (kalau saja Sultan Muhammad Dawod Syah tahu hal ini, mungkin dia akan paham kenapa Inggris enggan membantu Kerajaan Aceh melawan Kerajaan Belanda padahal ketiga Kerajaan ini sudah terikat perjanjian pengakuan kedaulatan masing-masing Kerajaan), kejadian ini membuat peran Ulama sebagai pengendali di Aceh benar-benar punah, lenyap, kehilangan tempat berlindung, akhirnya Kerajaan Aceh Darussalam terus mengalami kemunduran setelah penyerangan Kerajaan Belanda dan perang selama 80 tahun dengan kerajaan itu, ditambah lagi peperangan yang terjadi dalam kurun yang cukup lama dengan pemerintah pusat RI hingga perdamaian tahun 2004 lalu setelah bencana Tsunami.

Pemimpin Revolusi Islam Iran (rahbar) saat melakukan inspeksi pasukan

Sekarang mari kita lihat Iran, sistem pemerintahan yang ada di Iran, benar-benar sama persis seperti sistem pemerintahan yang dulu pernah ada di Aceh dan bertahan berabad-abad disana sejak abad ke 2 Hijriyah (tahun 800an Masehi), dimana kekuasaan pemerintahan benar-benar berada dibawah kendali para Rohaniawan yaitu para Ulama, entah orang-orang Iran tahu jika sistem pemerintahan ini sudah pernah ada di jarak ribuan mil dari Iran.

Di Iran, sistem ini benar-benar telah menyempurna sedemikian rupa dimana Para Ulama diakui statusnya oleh seluruh lapisan rakyat Iran, dan diakui secara konstisional oleh negara, ditambah lagi para ulama ini telah memiliki struktur organisasi rapi yang sangat mengagumkan, baik dari tingkat pelajarnya (seperti pelajar biasa/thalabah, Pelajar tingkat menengah/thalabah al-'ali, pelajar tingkat tinggi/Bahtsul Kharij, pemikir agama/Mujtahid, rujukan ummat/Marja' serta pemimpin tertinggi/Maqam Rahbary), atau sistem kemiliterannya (Sepahe Pasdaran dan Sepahe Basiji), hingga pasukan rakyat yang berada dibawah kendali ulama rujukan ummat/Marjaiyyah, disamping bagian-bagian lain baik yang bekerja sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan pemerintahan nasional Iran dan luar negeri, wajar saja negara superpower mana pun akan gentar menghadapi Iran dan harus menyiapkan dana perang untuk masa ratusan tahun lamanya.

Salah satu unit pasukan non pemerintah dibawah kendali rahbar di Iran

Jelas saja benar komentar teman kita itu, bahkan konfrontasi dengan Iran jelas sekali akan terus berkepanjangan, karena disamping mereka harus melawan kekuatan pemerintahan yang sekarang sudah sangat kuat dengan inovasi pertahanan negara yang sangat maju signifikan, mereka juga harus berhadapan dengan pasukan berani mati yang dahsyat didikan para ulama yang telah memiliki jaringan dimana-mana, sebut saja seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina, padahal mereka (Iran-pen) baru merdeka selama 30 tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih