Tak terasa usia Revolusi Islam Iran hampir mencapai tiga dekade. Perayaan hari kemenangan Revolusi Islam yang digelar tiap tahun, mengingatkan kembali pada heroisme perjuangan Revolusi Islam melawan rezim diktator. Bisa dikata, tetap eksisnya Revolusi Islam Iran hingga kini sama ajaib dengan kemenangan yang dicapainya pada tahun 1979.
Pada dekade 80-an, tak satupun dari dua adidaya dunia saat itu, AS dan Uni Soviet menghendaki kemenangan Revolusi Islam dan kebangkitan rakyat yang berbasiskan ideologi Islam. Selama berabad-abad, Barat menjajah dunia Islam. Mereka berupaya menghancurkan bangsa-bangsa muslim dengan segala cara, dengan pelbagai propaganda, serangan budaya dan beragam tekanan politik.
Kekuatan sosialis di Timur, selama bertahun-tahun menuding agama sebagai candu masyarakat. Uni Soviet dan para sekutu-sekutunya di Eropa Timur, Asia dan Afrika berusaha menghapus keyakinan religius rakyatnya. Di banding negara-negara komunis lainnya, Uni Soviet memiliki sensitifitas yang lebih keras terhadap isu kebangkitan islami rakyat Iran. Pasalnya, sebagian besar negara-negara bagian Uni Soviet yang berbatasan dengan Iran, mayoritas beragama Islam. Moskow khawatir semangat Revolusi Islam akan menular dan merambah ke wilayahnya.
Di sisi lain, kekuatan Barat, khususnya AS, menilai tumbangnya rezim Pahlevi sebagai ancaman serius terhadap rencana strategis Washington di Timur Tengah dan Teluk Persia. Selain Arab Saudi, rezim Pahlevi adalah salah satu struktur penjamin kepentingan AS di kawasan ini. Karena itu, meski Gedung Putih dan Kremlin adalah dua adidaya dunia yang saling berseberangan, namun terhadap masalah Revolusi Islam, mereka memiliki pandangan yang sepaham. Mereka sepakat bahwa kebangkitan Islam politik di Iran mesti dimusnahkan.
Di sisi lain, kekuatan Barat, khususnya AS, menilai tumbangnya rezim Pahlevi sebagai ancaman serius terhadap rencana strategis Washington di Timur Tengah dan Teluk Persia. Selain Arab Saudi, rezim Pahlevi adalah salah satu struktur penjamin kepentingan AS di kawasan ini. Karena itu, meski Gedung Putih dan Kremlin adalah dua adidaya dunia yang saling berseberangan, namun terhadap masalah Revolusi Islam, mereka memiliki pandangan yang sepaham. Mereka sepakat bahwa kebangkitan Islam politik di Iran mesti dimusnahkan.
Kendati demikian, di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, semangat rakyat Iran untuk terus memperjuangkan Revolusi ke gerbang kemenangan makin berkobar. Dengan semangat ‘tidak Barat dan tidak Timur' serta menentang rezim diktator, rakyat Iran bangkit membawa bendera ideologi Islam ke pentas dunia.
Pasca kemenangan Revolusi Islam dan berdirinya Republik Islam Iran, dunia masih belum kenal betul kekuatan dan pengaruh menakjubkan yang dimiliki Revolusi Islam Iran terhadap bangsa-bangsa muslim lainnya. Di Barat sendiri, hanya sebagian intelektual saja yang bisa menggambarkan kemenangan dan masa depan Revolusi Islam. Henry Kissinger, mantan menlu AS menyebut Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 sebagai gempa bumi, yang tidak hanya menguncang Timur Tengah, tapi bahkan seluruh dunia.
Slogan utama Revolusi Islam, "Keadilan, Kebebasan, dan Persamaan" menyebar ke segenap penjuru dunia. Tentu saja, persamaan dan keadilan dalam kultur politik AS, sama sekali tidak bernilai. Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan AS di era presiden Jimmy Carter, pada tahun 1977-1981, dalam buku hariannya menulis bahwa Republik Islam Iran selalu menjadi fokus perhatiannya untuk mencegah pengaruh Revolusi Islam merambah ke negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah. Gelombang kerusuhan di wilayah selatan, barat, dan timur laut perbatasan Iran di masa-masa awal Revolusi Islam, merupakan bagian dari skenario yang dirancang oleh Brzezinski. Bahkan digelarnya perang yang dipaksakan Rezim Ba'ats Irak terhadap Iran selama delapan tahun, merupakan bagian dari skenario AS untuk menggagalkan Revolusi Islam.
Padahal, munculnya beragam gelombang kerusuhan dan perang yang dipaksakan pada masa-masa kritis Revolusi Islam, merupakan kesempatan tepat untuk menumbangkan revolusi yang baru saja lahir. Meski demikian, perjuangan dan perlawanan rakyat Iran yang tak kenal menyerah, seraya bersandar pada kekuatan iman dan dibawah kepimimpinan Imam Khomeini, Revolusi Islam tetap bertahan dan menjadi bukti bagi dunia, bahwa Islam merupakan sumber kekuatan ideologis yang tak mudah dipatahkan. Selama ini, Barat sebagai perancang perang Irak melawan Iran, mengabaikan faktor Islam dan kekuatan tersembunyi rakyat dan pemerintah Republik Islam Iran.
Kemenangan yang dicapai Iran dalam delapan tahun masa pertahanan suci melawan agresi rezim Saddam menjadikan Iran sebagai teladan bagi negara-negara yang selama ini terjajah. Perang yang dipaksakan Irak dan beragam sanksi ekonomi AS dan sekutunya terhadap Iran, justru merupakan kesempatan bagi bangsa Iran untuk mencapai kemandirian di segala bidang. Selain itu, beragam transformasi di kawasan regional maupun internasional, pasca agresi militer Saddam ke Irak memberikan peluang bagi Iran untuk terus maju dan tampil menjadi kekuatan yang disegani di Timur Tengah.
Agresi militer Saddam ke Kuwait, menjadikan negara-negara regional menarik dukungannya dari Rezim Ba'tas Irak. Kecaman keras Republik Islam Iran terhadap aksi pendudukan Irak terhadap Kuwait, mendapat sambutan positif negara-negara regional. Fenomena ini membuktikan, Iran bukan ancaman regional, tapi justru bisa dijadikan sebagai tumpuan yang tangguh bagi negara-negara di kawasan.
Pengaruh Republik Islam Iran terhadap perkembangan di dunia, pasca tumbangnya blok Timur semakin kentara. Lepasnya negara-negara bagian Uni Soviet di kawasan Asia Tengah dan Kaukasia dari Moskow, menjadikan ramalan politik Imam Khomeini tentang nasib komunis menjadi kenyataan. Ramalan ini sempat diungkapkan Imam Khomeini dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, presiden terakhir Uni Soviet.
Ketertarikan negara-negara baru merdeka eks Uni Soviet untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Islam Iran, membuka peluang bagi Iran untuk melebarkan manuver politik regionalnya. Fenomena ini membuat pengaruh Iran di kawasan kian meningkat. Invasi militer AS ke Afghanistan dan Irak, membuat negara-negara Arab, sekutu Washington di Timur Tengah, makin cemas. Karena bisa jadi, mereka pun bisa menjadi target lain invasi AS. Masalah ini, merupakan kesempatan bagi Tehran untuk mengajak negara-negara di kawasan bekerjasama untuk menjaga keamanan dan kemerdekaan regional.
Hadirnya Presiden Republik Islam Iran, Dr. Mahmoud Ahmadinejad, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) di Qatar baru-baru ini, merupakan langkah penegas untuk mempererat tali persahabatan Tehran dengan negara-negara tetangganya di kawasan Teluk Persia. Selain itu, permintaan AS yang mengajak Iran untuk berunding membantu menyelesaikan krisis di Irak, merupakan bukti lain, bahwa Iran kini merupakan kekuatan regional yang patut diperhitungkan dan tak bisa diabaikan begitu saja.
Iran pasca Revolusi Islam, sejatinya merupakan kekuatan ketiga dalam sistem adidaya dua polar dekade 80-an. Kemenangan Revolusi Islam Iran merupakan fenomena berakhirnya era determinasi ketergantungan setiap bangsa terhadap salah satu kekuatan adidaya dunia di masa itu, Timur atau Barat. Negara-negara lain yang selama ini memimpikan independensi, mulai melirik Iran sebagai proyek percontohan. Karena itu, sistem adidaya dwikutub pun akhirnya tumbang. Dan kini, AS sebagai satu-satunya negara yang mengklaim dirinya sebagai adidaya tunggal di dunia, perlahan-lahan mulai mendekati masa ajalnya. Bahkan politik mandiri Republik Islam Iran telah memaksa negara-negara Barat, khususnya AS untuk menata ulang kebijakan luar negerinya terhadap isu-isu regional maupun internasional.
Setelah hampir tiga dekade, suara kemerdekaan dan kebebasan Revolusi Islam Iran tidak hanya menggema di Timur Tengah dan negara-negara muslim, tapi juga hingga ke negara-negara Amerika Latin. Semangat anti-imperialisme yang didengungkan oleh Revolusi Islam, membuat bangsa-bangsa pecinta kemerdekaan sejati di Amerika Latin makin tergugah untuk bangkit melawan hegemoni Barat dan melepaskan diri dari jeratan ketergantungan dengan kekuatan imperialis. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa semangat menuntut kemerdekaan, keadilan dan kebebasan adalah hadiah paling berharga yang diberikan Revolusi Islam Iran kepada dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar konstruktif dengan bahasa yang sopan dan bijak, terimakasih