05 April 2015

PERSOALAN QUNUT SUBUH*

Doa Qunut
Masalah ini menurut penulis pada dasarnya bukanlah masalah yang penting untuk dibahas, karena qunut sendiri hukumnya adalah sunnah dalam mazhab Syafi’i, artinya jika pun tidak dilaksanakan tidak masalah, bukan dosa, dan shalat tidak batal karena tidak membaca qunut, karena bukan rukun shalat.

Namun yang berkembang dalam pemahaman masyarakat terhadap persoalan sunnah ini adalah telah menjadi pemicu prilaku lain yang justru menurut Islam haram, pemahaman itu telah menjelma sebagai pemisah jama’ah shalat, pemisah persaudaraan sesama muslim, bahkan yang lebih parah penyebab timbulnya permusuhan sesama yang diawali dengan pergunjingan, gosip, dll.

Tindakan yang berasal dari pemahaman itu benar-benar konyol dan seperti bunuh diri, persoalan yang awalnya tidak masalah pada akhirnya menjadi masalah yang besar, dan menghilangkan pahala amalan kita.
Imam Abi Zakariya Mahyiddin bin Syaraf An Nawawi dalam kitab “Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab” berkata:

مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها سواء نزلت نازلة أو لم تنزل وبها قال أكثر السلف ومن بعدهم أو كثير

"Dalam mazhab kita adalah sunnah hukumnya membaca doa qunut dalam shalat subuh itu baik qunut nazilah atau bukan, dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama salaf dan sebagian ulama-ulama setelahnya atau sebagian besarnya” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab j 3, h. 504)

Dengan demikian jelaslah bahwa qunut subuh itu menurut ulama mazhab syafi’I hukumnya sunnah, bila dikerjakan berpahala, bila ditinggalkan tidak mengapa, artinya kita tidak perlu marah saat orang lain tidak melakukan qunut subuh, tidak perlu merasa tidak afdhal shalat subuhnya, apalagi menganggap tidak sah jika tidak membaca qunut.

Di lain pihak, kelompok lain yang tidak meyakini qunut subuh bagian dari Sunnah Nabi perlu menahan diri, ucapan dan tindakan serta menghormati pendapat ini, karena tidak dapat dipungkiri salah satu timbulnya reaksi beragam termasuk kesalahan pemahaman masyarakat tersebut diatas adalah karena ucapan pedas, dan tindakan provokatif kelompok lain yang tidak meyakininya.

Para ulama yang disebutkan Imam Abi Zakariya Mahyiddin bin Syaraf An Nawawi beralasan walaupun terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Nabi pernah membaca qunut tapi kemudian meninggalkannya, maka qunut yang ditinggalkan beliau itu adalah qunut nazilah, bukan qunut subuh, sementara qunut subuh tetap dilakukan Nabi sampai akhir hayat beliau.

عن انس ان النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعو عليهم ثم تركه فاما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا

“Dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi saw membaca qunut berdoa untuk suatu kaum selama sebulan kemudian meninggalkannya, sedangkan untuk shalat subuh, beliau senantiasa membaca qunut hingga beliau wafat” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut, j. 2, h. 201).

عن الربيع بن انس قال كنت جالسا عند انس فقيل له انما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا فقال ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في صلوة الغداة حتى فارق الدنيا

“Dari Rabi’ bin Anas ia berkata: suatu hari aku duduk bersama Anas (ayahnya) maka sesorang berkata kepadanya, sesungguhnya Rasulullah hanya membaca qunut selama sebulan, maka Anas berkata: “Rasulullah saw senantiasa membaca qunut pada shalat Fajar (subuh) hingga beliau wafat” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 201)

Kedua, jika Rasulullah saw meninggalkan membaca qunut (baik nazilah atau subuh) maka bagaimana bisa sahabat setelahnya masih melakukannya pada zamannya? Hal ini menunjukkan bahwa yang ditinggalkan beliau adalah qunut nazilah yang memang dilakukan pada saat-saat tertentu, bukan qunut secara keseluruhan yaitu qunut subuh.

عن الحسن عن انس بن مالك قال قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وابو بكر وعمر وعثمان رضى الله عنهم واحسبه قال رابع حتى فارقهم ورواه عبد الوارث بن سعيد عن عمرو بن عبيد وقال في صلوة الغداة

“Dari Hasan dari Anas bin Malik ia berkata: “Rasulullah saw membaca qunut, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Usman ra, dan rawi mencukupkan perkataannya, Rabi’ berkata: “Hingga mereka meninggal dunia” dan diriwayatkan dari Abdul Waris bin Sa’id dari Amru bin Ubaid: “Pada shalat-shalat fajar mereka” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 202).

عن قتادة عن انس بن مالك رضى الله عنه قال صلت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقنت وخلف عمر فقنت وخلف عثمان فقنت

“Dari Qatadah dari Anas bin Malik ra. ia berkata: “Aku shalat dibelakang Rasulullah saw dan membaca qunut, demikian pula dibelakang Umar dan dibelakang Usman” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 202).

ثنا بندار ثنا يحيى بن سعيد ثنا العوام بن حمزة قال سألت ابا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد الركوع قلت عمن قال عن ابى بكر وعمر وعثمان رضى الله عنهم * هذا اسناد حسن ويحيى بن سعيد لا يحدث الا عن الثقات عنده

“Telah menceritakan kepada kami Bandar dari Yahya bin Sa’id dari ‘Awam bin Hamzah ia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Usman tentang membaca Qunut Subuh, ia berkata: “Qunut Subuh itu dilakukan setelah ruku’” aku bertanya: “Dari mana anda tahu?” ia menjawab: “Dari Abu Bakar, Umar dan Usman ra.” Isnad riwayat ini hasan karena Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan kecuali dari orang yang terpercaya” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 202).

حدثنى مخارق عن طارق قال صليت خلف عمر الصبح فقنت

“Telah menceritakan kepadaku Makhariq dari Thariq ia berkata: “Aku pernah shalat subuh dibelakang Umar dan ia membaca qunut” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 203).

ثنا الحميدى ثنا يحيى بن سليم عن اسمعيل بن امية عن عطاء عن عبيد بن عمير قال سمعت عمر يقنت ها هنا في الفجر بمكة

“Telah menceritakan Al Humaidi, dari Yahya bin Salim dari Isma’il bin Umayyah dari Atha dari Ubaid bin ‘Amir ia berkata: “Aku mendengar Umar membaca qunut disini, ya disini pada saat shalat subuh di Mekah” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 203).

عن حبيب بن ابى ثابت عن عبد الرحمن بن سويد الكاهلى قال كانى اسمع عليا رضى الله عنه في الفجر حين قنت وهو يقول اللهم انا نستعينك ونستغفرك

“Dari Habib bin Abi Tsabit dari Abdurrahman bin Suwaid ia berkata: “Sepertinya aku mendengar Ali ra. membaca qunut pada saat shalat fajar, dan ia berkata: “Ya Allah sesungguhnya kami memohon pertolongan kepadaMu dan memohon ampunanMu” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 205).

Dan masih banyak lagi riwayat yang disebutkan imam Baihaqi dalam kitabnya Sunan al Kubra yang menguatkan pendapat ini. Namun perlu diketahui bahwa membaca qunut tidak terbatas hanya pada shalat subuh saja, karena ada juga dalil-dalil yang menyebutkan dapat dilakukan pada shalat-shalat lainnya seperti shalat maghrib, Dhuhur, dan Isya, namun pembahasan ini memiliki penjelasan tersendiri, dalil itu seperti:

حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أُمَيَّةَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ - يَعْنِى ابْنَ هِشَامٍ - حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ وَاللَّهِ لأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَصَلاَةِ الْعِشَاءِ الآخِرَةِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكَافِرِينَ.

“Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah ia berkata: “Demi Allah, shalatku adalah yang paling dekat dengan shalat Rasulullah saw, maka adalah shalat Abu hurairah itu membaca qunut pada raka’at akhir dari shalat Dhuhur, raka’at terakhir shalat Isya dan shalat subuh, dia mendoakan orang-orang mukmin dan melaknat orang-orang kafir” (Sunan Abu Dawud, Bab Al-Qunud fis shalawat, j. 1, h. 540)

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ وَمُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَحَفْصُ بْنُ عُمَرَ ح وَحَدَّثَنَا ابْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنِى أَبِى قَالُوا كُلُّهُمْ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنِ ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْنُتُ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ زَادَ ابْنُ مُعَاذٍ وَصَلاَةِ الْمَغْرِبِ.

“Dari Bara’ bin Azib ia berkata: “Bahwasanya Nabi saw dahulu membaca qunut pada saat shalat subuh” Ibnu Muazd menambahkan “Demikian pula pada shalat maghrib” (Sunan Abu Dawud, Bab Al-Qunud fis shalawat, j. 1, h. 540)

Salah satu alasan Mazhab Syafi’I tetap berpendapat membaca qunut hukumnya sunnah walaupun banyak dalil yang menguatkannya adalah karena terdapat pula sahabat Nabi yang tidak membacanya, seperti yang disebutkan dalam riwayat berikut ini:

عن عرفجة قال صليت مع ابن مسعود رضى الله عنه صلوة الفجر فلم يقنت وصليت مع على فقنت

“Dari ‘Arafjah ia berkata: “Aku pernah shalat fajar bersama Ibnu Mas’ud ra. dan ia tidak membaca qunut, dan aku pernah shalat fajar bersama Saydina Ali dan ia membaca qunut” (Sunan al Kubra Baihaqi, bab ad dalil ‘ala annahu lam yatruk ashlul qunut  j. 2, h. 205).

Namun ini adalah pilihan, ingin dapat pahala lebih maka bacalah qunut, jika tidak membaca maka tidak ada masalah, mari menjadikan persoalan qunut ini sebagai wawasan keislaman, bukan menukarnya dengan memecah persatuan umat Islam yang lebih tinggi nilainya.

* Penulis adalah Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, NAD.

28 November 2014

Menjadi Hamba Allah yang Rahman

Sesungguhnya Allah Ta’ala memuliakan hamba-hamba-Nya yang baik peribadatannya kepada-Nya. Para hamba tersebut menyempurnakan taqarrub kepada Allah dengan memperbagus amalan ketaatan mereka. Allah Jalla wa ‘Ala pun senantiasa melipat-gandakan kemuliaan untuk mereka, mengangkat kedudukan mereka, kemudian memuji mereka dengan menjelaskan kedudukannya yang dekat di sisi-Nya. Tentang mereka Allah jelaskan dalam sebuah ayat yang agung di akhir surat Al-Furqan. Dia namai para hamba tersebut dengan sebutan “Ibadurrahman (عِبَادُ الرَّحْمَنِ)”. Setelah menyebutkan nama mereka, Allah pun menyebutkan sifat-sifat mereka yang indah dan akhlak mereka yang mulia. Lalu Allah Tabaraka wa Ta’ala janjikan kepada mereka balasan yang agung dan tempat yang terhormat.

Sifat-sifat mereka disebutkan dalam 8 redaksi dengan redaksi yang penuh keberkahan. Seorang mukmin hendaknya merenungi sifat-sifat yang agung ini dan menjadikannya pembelajaran serta percontohan untuk diri mereka. Apabila setelah membaca sifat-sifat tersebut mereka merasa bahwa diri mereka penuh kekurangan dan suka menyia-nyiakan ketaatan, hendaknya ia bersegera menyempurnakan kekurangan dirinya sebelum datang ajal menjemputnya.


Pertama: Sifat pertama yang Allah Jalla wa ‘Ala sebutkan adalah mereka orang yang tenang dan merendahkan diri kepada Allah, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang mencela ketaatan mereka, dan membantahnya dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63).

Kedua: Allah juga menyebutkan di antara sifat mereka adalah menaruh perhatian terhadap shalat malam dan mengerjakannya dengan penuh keikhlasan, ketundukan, dan kekhusyuan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 64).

Ketiga: Sifat mereka yang lainnya, yang disebutkan oleh Allah Ta’ala adalah mereka sangat takut terhadap neraka, padahal mereka memiliki amalan yang agung dan sifat-sifat yang terpuji. Mereka takut dari adzab Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, mereka berdoa dengan sepenuh pengharapan agar dijauhkan dari neraka dan berusaha menjauhkan diri sebab-sebab yang bisa menghantarkan ke neraka. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66)

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqan: 65-66).

Keempat: Mereka juga adalah orang yang senantiasa berinfak, baik yang wajib maupun yang Sunnah. Berinfak dengan tidak berlebihan hingga menyusahkan diri mereka, juga tidak pelit karena terlalu sedikit. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).

Kelima: Setelah itu, Allah mengabarkan bahwa mereka juga adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Khususnya dosa syirik, membunuh, dan zina. Karena tiga perbuatan ini adalah dosa yang terbesar dan termasuk hal-hal yang membinasakan. Dengan rasa takut dan rajinnya mereka melakukan ketaatn, mereka juga memiliki sifat bersegera dan senantiasa bertaubat kepada Allah ketika melakukan dosa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 68-71).

Keenam: Allah Jalla wa ‘Ala menyebutkan mereka adalah orang yang jauh dari majlis-majlis yang mungkar, yang melalaikan, batil, dan sesat. Apabila mereka melewati majlis-majlis demikian, mereka tidak memperdulikannya karena mereka memuliakan diri mereka sendiri. Mereka mensucikan diri mereka dari majlis-majlis yang sia-sia dan jelek. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72).

Ketujuh: Mereka juga adalah orang-orang yang mengagungkan ayat-ayat Allah dan tidak pernah menentang atau membantah ayat-ayat tersebut, bahkan mereka adalah orang yang mengimaninya dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا

“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73).

Kedelapan: Mereka adalah orang-orang yang menghadapkan diri kepada Allah dengan cara yang terbaik dan menyempurnakan doa. Mereka memuliakan diri mereka sendiri, keluarga, dan keturunan mereka dengan cara memohonkan kebaikan di dunia dan akhirat untuk mereka semua. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan 74).

Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala tutup rangkain sifat-sifat mereka dengan menjanjikan derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di hari kiamat kelak. Allah Ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا}أي الجنة{ تَحِيَّةً وَسَلَامًا

“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.” (QS. Al-Furqan: 75).

Para malaikat menyambut mereka dengan sambutan yang mulia. Tempat mereka di surga yang penuh dengan keselamatan dan kesempurnaan.

Alangkah agungnya dan mulianya sifat-sifat mereka. Hendaknya setiap muslim bersemangat untuk mengoreksi diri mereka dan terus memperbaiki amalan mereka sesuai dengan penjelasan yang telah Allah jelaskan di dalam ayat-ayat surat Al-Furqan.

Koreksilah diri kita dengan koreksi yang penuh ketelitian. Kemudian bersungguh-sungguhlah dalam menjauhi perbuatan jelek dengan meminta tolong kepada Allah. Sesungguhnya taufik berada di tangan-Nya dan tiada sekutu bagi-Nya.[]

17 Oktober 2014

Kemanakah Kita Akan Pergi?

Persimpangan Jalan
Dalam kitab suci kita, Al-Qur’an terdapat satu ayat yang sangat singkat namun sangat penuh dengan makna, sebuah ayat yang meramu dua kehidupan nyata kita, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, ayat itu adalah Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ


“Maka kemanakah kamu akan pergi?” (Qs. Takwir: 26)

Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa hidup adalah pilihan, Allah swt dengan hikmahnya telah memberikan banyak jalan (suluk) di dunia ini untuk dipilih oleh manusia, ibarat seseorang yang ingin menuju suatu tempat sementara di hadapannya ada berbagai jalan yang ia akan tempuh, maka Allah swt berfirman:

فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ


“Maka kemanakah kamu akan pergi?”

Imam Al-Alusi juga menerangkan bahwa pertanyaan Allah ini sebagai “Amrul Qur’anil Adhim” atau sebagai permasalahan yang sangat agung yang terdapat dalam Al-Qur’an, betapa tidak, inilah pertanyaan Allah swt yang singkat setelah menerangkan dan menjelaskan dalam ayat-ayat yang lain berbagai jalan-jalan yang terdapat di kehidupan kita.

Kitalah yang akan memilih jalan mana yang akan kita tempuh dan kita lalui, apakah kita akan memilih jalan diberikan oleh Allah swt nikmat yang besar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

صراط الذین انعمت علیهم

Ataukah kita akan mengikuti jalan yang dimurkai oleh Allah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

غير المغضوب عليهم و لا الضآلین

Karena itulah Imam Az-Zujaj dalam Al-Lubab mengenai ayat ini pernah berkata:

أي طريق تسلكون أبين من هذه الطريقة التي بيَّنت لكم

“Maksud ayat ini adalah jalan mana yang akan kita tempuh dari sekian banyaknya jalan yang telah Allah jelaskan kepada kita”

Setelah kita merenungi ayat ini, maka tugas kita selanjutnya adalah menemukan jalan mana yang Allah swt terangkan dalam ayat-ayatNya untuk kita lalui di dunia ini. Ketika Allah swt bertanya tentu Allah telah menerangkan sebelumnya ada berapa banyak jalan yang terdapat di hadapan manusia.
Diantara Jawaban itu terdapat dalam surat Ali Imran ayat 51 yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ رَبِّي وَ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هذا صِراطٌ مُسْتَقيمٌ

Sesungguhnya Allah itu adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembah dan ta’atlah kepadaNya, sesungguhnya inilah jalan yang lurus” (Qs. Ali Imran: 51)

Ada beberapa catatan yang terdapat dalam ayat ini, pertama adalah bentuk penegasan bahwa hanyalah Allah swt sebagai Tuhan di alam semesta ini,

إِنَّ اللهَ رَبِّي وَ رَبُّكُمْ

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menerangkan bahwa ayat ini adalah bentuk “I’tiraf” atau bentuk pengakuan, dengan kata lain apapun latar belakang seseorang, standar kebenaran di alam semesta ini adalah jika seseorang itu memilih jalan yang mengakui keesaan Allah swt sebagai Tuhan.

Catatan kedua dari ayat ini adalah dimensi sosial dimana sangat ditekankan sikap kebersamaan dan kekeluargaan dalam keta’atan kepada Allah swt dalam Islam, karena Allah menyebutkan ayat ini dengan dhamir mutakallim wahdah dan Dhamir Jama’ mukhotob, artinya bentuk pengakuan yang terkait diri sendiri, namun tidak cukup dengan itu tapi juga terkait dengan orang banyak baik laki-laki maupun perempuan.

Kebersamaan inilah yang sangat ditekankan dalam Islam, Islam tidak ingin kita sendirian dalam kebenaran, karena Islam adalah agama yang universal, rahmatan lil alamin, menjadi rahmat bagi alam semesta, karena itulah ketika Allah swt berfirman:

إِنَّ اللهَ رَبِّي وَ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هذا صِراطٌ مُسْتَقيمٌ

Maksudnya adalah Islam menginginkan semua manusia bersama-sama berada pada jalan yang lurus

Namun dalam berbagai keadaan, terkadang kita keliru untuk menerapkan kebersamaan dalam kebenaran, sebagian kita malah bergunjing atas kesalahan orang lain, sebagian kita malah berdebat dengan orang lain yang justru menjauhkan dari kebenaran itu, sebagian kita ada yang memaksa orang lain dengan kebenaran yang ada pada kita, bahkan sebagian dari kaum muslimin rela membunuh saudaranya dengan sadis karena tidak mau mengikuti kebersamaan dalam kebenaran yang ia miliki.
Apakah ini adalah cara yang dibenarkan dalam Islam? Bagaimana Islam mengajarkan cara mengajak kepada kebersamaan dalam kebenaran?

Dialog yang baik, santun dan saling menjaga antara satu sama lain adalah kunci yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita dalam mengajarkan kebenaran dalam kebersamaan, Rasulullah tidak pernah mengajarkan cara-cara kekerasan dalam mengajak kepada kebenaran, karena cara-cara kekerasan malah bukan saja menjauhkan seseorang kepada kebenaran, bahkan bisa membuat seseorang benci kepada kebenaran.

Kita dapat melihat misalnya dalam Al-Qur’an disebutkan bagaimana Rasulullah berdialog dengan orang-orang musyrikin mekah, kita bersama tahu, bahwa orang-orang musyrik adalah orang-orang yang menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan mereka, yang dalam Islam tidak ada dosa yang paling besar selain dari menyekutukan Allah dengan berhala, namun bagaimana sikap Rasulullah di akhir dari perdebatan dengan mereka, Rasulullah tidak secara langsung mendakwa bahwa mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata, walaupun kebenaran berada pada pihak Rasulullah, namun dengan santun beliau berkata sebagaimana firman Allah:

وَ إِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلى هُدىً أَوْ في ضَلالٍ مُبينٍ.

"…Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Saba' [34]: 24).

Mengapa ini beliau lakukan? Tidak lain karena potensi hidayah ada pada setiap orang, dan kita hanyalah berkewajiban sebagai penyampai kebenaran kepada mereka secara wajar, Inilah akhlak Rasulullah yang patut kita tiru, Akhlak Rasulullah yang menjadi teladan bagi kita semua, karena Allah swt memang berfirman:

لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللهَ وَ الْيَوْمَ الْآخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثيراً

Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Qs. Al-Ahzab 21).

Jika demikian akhlak yang diajarkan Rasulullah saw, maka bagaimana kita dapat membenarkan tindakan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam memaksakan kebenaran Islam kepada orang lain dengan cara-cara kekerasan?. Wallahu’alam.[]

19 September 2014

Sumber Ketenangan dalam Hidup

Ketenangan
Dalam Al-Qur’an terdapat satu ayat yang termasuk sangat menyentuh untuk kita renungkan dan hayati, sebuah ayat yang singkat namun sangat sarat dengan makna, sebuah ayat yang merangkum dua kehidupan nyata manusia, yaitu kehidupan dunia yang sedang kita jalani dan kehidupan akhirat yang akan kita lalui, ayat itu adalah Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Wahai Jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai olehNya” (Qs. Al-Fajr: 27-28)

Setiap manusia menginginkan ketenangan dalam hidup, ada orang yang menghabiskan segala usahanya selama bertahun-tahun hanya untuk membeli sebuah rumah di suatu tempat tertentu yang jauh dari kebisingan manusia lainnya, jauh dari kebisingan kendaraan dan carut-marut kesibukan kota, mengapa ia melakukan itu? Tidak lain karena ia menganggap keberadaannya jauh dari hiruk pikuk kehidupan sosial itulah sumber ketenangan baginya.

Ada pula sebaliknya, mereka meninggalkan keteduhan desa, kesejukan alamnya, keramahan penduduknya serta kebersihan udaranya, bahkan rela menjual apa yang ia miliki di tempat itu hanya sekedar untuk mengejar kehidupan kota yang penuh sesak, berpolusi, dan detak kehidupan yang berjalan tanpa henti, apa yang membuat ia melakukan itu? Jelas karena ia beranggapan bahwa sumber ketenangannya adalah ditempat seperti itu.

Ada pula yang lainnya yang rela menghabiskan dana yang besar demi makan di sebuah tempat yang mahal karena menganggap ketenangannya berada disitu, ada yang membeli kendaraan mewah dengan harga yang fantastis karena menganggap sumber ketenangannya ada disitu, ada yang mengejar wanita impian dengan mengorbankan segalanya karena menganggap ketenangannya berada pada wanita itu, intinya... manusia ingin ini dan itu, ingin memiliki ini dan itu, ingin menguasai ini dan itu, ingin dapat melakukan ini dan itu, semua hanya bertujuan satu, yaitu untuk memperoleh apa yang disebut dengan K E T E N A N G A N dalam hidup.

Salahkan ini?... Berdosakah ini?...

Islam melihat sifat dasar kemanusiaan ini adalah sebagai sunnatullah manusia, kodrat manusia adalah mencari ketenangan dalam hidup,` tidak terkecuali para Nabi dan Auliya Allah SWT, mereka juga mengorbankan sesuatu yang lain untuk mencari ketenangan dalam hidup.

Nabi Adam as memakan buah Khuldi karena menganggap keredhaan sang Istri dengan memakan buah itu adalah sumber ketenangan baginya, Nabi Yusuf as rela mendapat cobaan dimusuhi oleh saudara-saudaranya, dijatuhkan ke dalam sumur, dijual menjadi budak, karena beranggapan bahwa kerelaan Tuhan kepadanya adalah sumber ketenangan baginya, Nabi kita, Nabi Muhammad SAW rela hijrah meninggalkan kota kelahirannya Mekah menuju Madinah karena menganggap ketenangannya adalah di kota itu, ia dapat merapatkan barisan kaum muslimin, memperjuangkan Islam, dan membawa ummat kepada cahaya ilahi.

Kita semua, siapapun kita, apapun pangkat dan kedudukan kita, memiliki sumber ketenangan yang berbeda-beda antara satu sama lain, dan itu adalah kodrat manusia saat diciptakan oleh Allah SWT, dan itu pula adalah ujian terbesar bagi kita hidup di dunia ini.

Karena itu, tanyalah pada diri kita masing-masing apakah sumber yang kita jadikan ketenangan dalam hidup itu adalah sumber yang diridhai oleh Allah atau tidak, apakah sumber ketenangan yang menjadi kodrat kita masing adalah sumber ketenangan yang memiliki kecendrungan yang baik atau yang tidak, apakah sumber ketenangan kita itu adalah sumber ketenangan yang mengganggu kehidupan manusia lainnya atau tidak.  Itulah yang mesti selalu kita tanyakan pada diri kita saat kita akan melakukan sesuatu

Allah SWT hanya menginginkan sumber ketenangan hidup kita adalah sumber yang diridhaiNya, sumber ketenangan yang tidak menyalahi aturan kehidupan dan akal sehat, sehingga saat kita hendak menemuinya kelak, kita benar-benar menjadi orang yang lega tanpa beban, tanpa beban dosa dan kesalahan yang berhubungan dengan diri kita sendiri, lega tanpa beban dosa dan kesalahan yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, lega tanpa beban dosa dan kesalahan yang berhubungan dengan Allah SWT. Saat itulah Allah SWT akan memanggil kita dengan panggilan yang mesra dan menaut hati:

يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلي في عِبادي وَ ادْخُلي جَنَّتي 

“Wahai Jiwa yang tenang Kembalilah kepadaKu dengan hati yang lega dan puas lagi di ridhai, silahkanlah masuk ke dalam barisan hamba-hambaku (yang kusayangi), dan silahkanlah masuk ke dalam surgaku ” (Qs. Al-Fajr: 27-28)

Mereka inilah orang-orang yang dianugerahi ketenangan yang sebenarnya dalam hidup, mereka inilah yang dalam tradisi Islam disebut sebagai orang-orang yang memiliki hati yang muthmain kepada Allah, orang yang yakin dan percaya bahwa sumber ketenangan hidup yang sebenarnya adalah keredhaan Ilahi, yaitu yang dapat menghantarkan manusia untuk tambah beriman, tambah beramal shalih, bertambah ketaqwaan, dan bertambah penyebaran kebaikan di muka bumi. Mudah-mudahan kita semua termasuk hambaNya yang memiliki jiwa yang Muthmain, jiwa yang tenang saat memenuhi panggilanNya kelak, amin []

05 September 2014

Meneladani Sikap Rasulullah

Rasulullah saww teladan kita
Ketika Nabi Muhammad saw belum dipilih menjadi seorang nabi dan rasul oleh Allah swt, ia adalah orang yang memiliki akhlaq yang sangat luar biasa, terpujinya akhlak yang beliau miliki bukan hanya menjadi decak kagum masyarakat kota mekah saat itu, bahkan Allah swt sendiri memuji akhlak beliau dengan menyebutkan:

وَ إِنَّ لَكَ لَأَجْراً غَيْرَ مَمْنُونٍ. وَ إِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظيمٍ


“sesungguhnya kamu benar-benar memperoleh pahala besar yang tidak terputus, Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Qs. Al-Qalam:3-4)

Imam Zamakhsyari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa mengapa Allah memberikan pahala yang tidak terputus kepada nabi? Salah satunya adalah karena kesabaran beliau yang luar biasa, sehingga Allah memberikan pahala yang Ghairi Mamnun, atau pahala yang tidak terputus bahkan hingga hari kiamat kelak.


Lebih lanjut Imam Zamakhsyari menjelaskan bahwa pahala yang luar biasa ini diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw karena perilaku dan sikap yang ditunjukan beliau selama hidup di dunia, karena Allah swt tidak akan mungkin memberikan suatu kemuliaan yang luar biasa kepada seseorang tanpa melihat apa yang menjadikan seseorang itu mulia disisiNya.

Dalam sebuah hadis dari Sa’id bin Hisyam disebutkan bahwa ketika ia bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah ra tentang akhlak yang dimiliki Nabi, beliau menjawab:


فقالت : كان خلقه القرآن ، ألست تقرأ القرآن : قد أفلح المؤمنون .


“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an, bukankah engkau membaca Al-Qur’an, Sungguh beruntung orang-orang yang Mukmin? (itulah sikap Nabi Muhammad saw).

Penjelasan Imam Zamakhsyari ini menunjukkan kepada kita bahwa sikap kita selama hidup di dunia sangat menentukan hasil akhirat yang akan kita peroleh kemudian di hari akhirat, jika kita berakhlak baik di dunia maka akan baik pula hasil yang akan kita peroleh setelah kehidupan dunia, begitu pula sebaliknya jika kita berakhlaq yang buruk selama hidup di dunia, maka akan buruk pula hasil yang akan kita raih setelah kita meninggalkan dunia ini.

Banyak orang berkata bahwa kemuliaan yang diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw adalah kemulian yang sudah menjadi kodrat diri seorang Nabi, kemuliaan yang sudah menjadi sunnatullah seorang Nabi, karena itu kita sering mendengar orang berkata:  “Saya bukan Nabi, karena itu saya tidak akan mampu melakukan ini, dan tidak akan mampu melakukan itu”.

Pandangan seperti ini menurut para ulama adalah pandangan yang kurang tepat, karena terpilihnya seorang Nabi menjadi Nabi bukanlah faktor utama yang membentuk kepribadian seorang Nabi, seorang nabi memiliki track record yang luar biasa agungnya dan luar biasa perjuangannya sebelum ia diangkat oleh Allah menjadi seorang Nabi, dan saat itu mereka adalah orang-orang biasa sebagaimana manusia lainnya, mereka berusaha untuk menjadi manusia yang baik, mereka berusaha untuk menjadi manusia yang lurus, mereka berusaha untuk mempertahankan sikap-sikap yang baik dan agung, dan itu mereka lakukan jauh sebelum mereka diangkat menjadi seorang Nabi.

Berapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa para Nabi adalah manusia biasa sebelumnya yang karena usaha mereka untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, mereka menjadi orang pilihan Allah swt, padahal saat itu mereka tidak tahu menahu akan diangkat oleh Allah sebagai seorang Nabi, Al-Qur’an mengutip perkataan mereka:

قالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُكُمْ

Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu (Qs. Ibrahim: 11)

قُلْ إِنَّما أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ

Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu (Kahfi 110)

Ini menunjukkan bahwa sikap dan prilaku seorang Nabi bukan suatu yang mustahil untuk kita lakukan dan contohi dalam kehidupan kita sehari-hari, jika Nabi Muhammad saw dalam kehidupannya adalah seorang yang jujur, maka bukan mustahil kita dapat pula berlaku jujur dalam kehidupan kita, jika Nabi adalah seorang yang sabar, maka bukan mustahil pula kita dapat bersabar dalam kehidupan kita, menjaga hubungan baik silahturahmi, menyantuni orang-orang yang tidak mampu, ikut berempati atas duka saudara semuslim lainnya, dll demikianlah seterusnya dengan sikap-sikap terpuji Nabi lainnya yang patut menjadi contoh dan suri tauladan bagi kita semua dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Allah swt dalam Al-Qur’an berfirman:

لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللهَ وَ الْيَوْمَ الْآخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثيراً

Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Qs. Al-Ahzab: 21)

Mudah-mudahan melaui tulisan yang singkat ini kita dapat meneladani sikap-sikap terpuji Rasulullah saw dengan mendalami peri kehidupan beliau yang tercatat dalam banyak sejarah dan sirah Nabawiyah yang dengan bantuan teknologi seperti sekarang ini sangat mudah bagi kita untuk mendapatkannya, dan mudah-mudahan pula kita menjadi orang yang mendapatkan pahala yang Ghairi Mamnun (yaitu pahala yang tidak terputus) dari Allah swt sejak kita hidup di dunia sampai ajal menjemput kita untuk kehidupan berikutnya, amin ya robbal alamin.[]